Minggu, 15 Juli 2012

STRATEGI BELAJAR AGAR SUKSES

Dalam berbisnis, belajar sudah menjadi keharusan. Tanpa belajar, pelaku bisnis dapat dipastikan akan jauh tertinggal dan tersingkir dari persaingan, karena belajar menumbuhkan inovasi, dan inovasi melahirkan perubahan positif yang diperlukan dalam berbisnis. Belajar pun harus dilakukan dengan cepat, bahkan jika mungkin, harus lebih cepat dari pesaing, dan dari perubahan yang terjadi. Jadi, untuk sukses di bidang apa pun yang kita tekuni, kita harus ”BELAJAR”. Belajar yang bagaimana yang bisa membawa sukses? Simak belajar untuk sukses berikut.

Manfaat Belajar

Menurut D.A Benton yang telah mensurvei para CEO (Chief Executives Officers) dari berbagai bidang industri, belajar merupakan salah satu kebiasaan penting para CEO sukses. Pemimpin perusahaan yang efektif senantiasa mengembangkan diri dengan belajar, karena mereka banyak mendapatkan manfaat dari kebiasaan sukses ini.

Orang penting. Dengan banyak ”belajar” kita menjadi orang yang memiliki banyak pengetahuan. Orang sekitar kita pun akan melihat dan merasakan ”aset” pengetahuan yang kita miliki, sehingga mereka akan datang kepada kita untuk mendapatkan ”solusi” yang mereka cari. Dengan demikian, kita bisa menjadi orang yang diperlukan oleh orang-orang sekitar kita, karena dianggap dapat memberikan manfaat, solusi bagi mereka. Alhasil, kemungkinan besar kita tidak akan tersingkir dari persaingan di tempat kerja. Sebaliknya, pengetahuan kita yang terus bertambah tersebut akan bisa membuka kesempatan besar untuk melaju dalam karier, ataupun dalam persaingan bisnis.
Misalnya: Rini, yang memiliki banyak pengetahuan dan keterampilan, senantiasa menjadi andalan teman-teman, bahkan atasannya sebagai ”narasumber” dalam membantu mereka mengatasi berbagai masalah. Rini, yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris paling baik di antara teman-temannya, dan pengetahuan yang luas dalam bidang pemasaran dan keuangan, selalu saja dimintai pendapat dalam membuat surat dan proposal bisnis penting untuk mitra asing, ataupun dalam menyiapkan presentasi bisnis dan negosiasi dengan calon pembeli. Atasan Rini pun selalu membawa Rini dalam pertemuan dengan mitra bisnis asing, ataupun dalam menghadiri pertemuan-pertemuan bisnis di luar negeri.

Keputusan berkualitas. Pengetahuan dan keterampilan yang kita dapatkan dari kebiasaan belajar, bisa menjadi alat ampuh dalam membantu kita mengambil keputusan yang berkualitas. Dengan kemampuan yang selalu disempurnakan, kita menjadi lebih bijak dalam melihat suatu permasalahan, karena bisa melihat permasalahan dari sudut pandang yang lebih luas. Hal ini membantu kita untuk menghasilkan alternatif solusi yang lebih beragam, dan lebih tajam karena didukung dengan pengetahuan dan keterampilan yang lebih kaya.

Misalnya: Toto, yang memiliki minat besar dalam bidang e-learning, beberapa bulan terakhir ini banyak membaca berbagai literatur di bidang pembelajaran elektronik. Ketika perusahaan IT tempat ia bekerja kemudian mengembangkan bisnis ke arah e-learning, ia diberi kepercayaan untuk pembuatan proposal pengembangan bisnis di bidang e-learning. Ditunjang dengan pendidikannya di bidang keuangan, keterampilan di bidang teknologi informasi, dan pengetahuan yang baru saja dipupuknya di bidang e-learning, Toto berhasil menyusun berbagai keputusan bisnis yang lebih berkualitas dan dengan derajat keyakinan sukses yang lebih tinggi.


Master of change. Pembelajaran senantiasa membawa perubahan, karena pengetahuan dan keterampilan yang baru, seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan. Di dunia bisnis yang diwarnai dengan perubahan yang cepat. Para pelakunya harus senantiasa menelurkan perubahan. Jika pelaku bisnis tidak berubah, maka mereka akan dilibas oleh perubahan tersebut. Sebaliknya, dengan senantiasa melakukan pembelajaran yang berkesinambungan, pelaku bisnis bisa menjadi pihak yang mengendalikan perubahan (master of change), bukan pihak yang menjadi korban perubahan.

Misalnya: Untuk memasuki bisnis teknologi tinggi yang penuh perubahan, pemain baru di industri ini haruslah menawarkan sesuatu yang baru agar bisa tampil sebagai pemenang. Inilah yang dilakukan oleh Michael Dell, pebisnis yang pada saat itu masih sangat muda. Pengetahuannya yang kuat di bidang perakitan komputer, serta kebiasaan belajarnya yang diperoleh dengan senantiasa mengamati perubahan yang terjadi di industri yang ditekuni, mendorong pemuda ini untuk berani tampil melibas pemain lama di dunia perakitan komputer. Cara baru yang cepat, unik, dan cerdas di tawarkan pada pelanggan, yaitu kesempatan untuk merakit komputer sesuai dengan kebutuhan sendiri, dengan harga yang relatif lebih murah, dan pengiriman yang lebih cepat.

Apa Yang Dipelajari

Okay. Sekarang kita sudah yakin bahwa belajar itu dapat mendatangkan banyak manfaat. Tapi, apa sih sebenarnya yang harus kita pelajari?
Yang diperlukan. Prioritas utama dalam pembelajaran tentunya adalah pembelajaran seputar topik-topik yang bisa langsung diperlukan untuk menunjang pekerjaan kita. Jika kita bergerak di bidang IT solution, tentunya kita harus banyak melahap literatur (buku, artikel, majalah) yang berhubungan dengan teknologi informasi. Kita juga bisa belajar dengan mengamati sepak terjang tokoh-tokoh bisnis IT ataupun perusahaan IT yang telah sukses di bidang masing-masing. Jika kita bergerak di bidang SDM, pastilah topik-topik pengembangan sumber daya manusia, dan pelatihan-pelatihan yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi topik-topik utama yang perlu kita gali.

Yang menunjang. Selain mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan yang kita tekuni, kita juga bisa mempelajari pengetahuan dan keterampilan penunjang, yaitu yang bisa memberi nilai tambah bagi kualitas pekerjaan kita. Pengetahuan dan keterampilan bernegosiasi, berkomunikasi dengan efektif, menyusun anggaran, mengendalikan dan memimpin orang lain, project management, serta menyusun anggaran sudah pasti dapat membantu kita dalam menjalankan pekerjaan kita dengan lebih baik.

Yang disenangi. Pengetahuan dan keterampilan yang langsung terkait ataupun yang tidak langsung dapat menunjang pekerjaan kita memang sangat diperlukan. Tapi, yang juga kita perlukan adalah pengetahuan dan keterampilan yang dapat memberi kesenangan dan kenikmatan bagi kita. Biasanya pengetahuan dan keterampilan ini berkaitan dengan minat dan hobi kita. Jika kita adalah seorang akuntan, tapi memiliki minat besar di bidang otomotif, kita bisa saja melahap bahan bacaan, melakukan observasi tentang dunia otomotif. Jika, ternyata kita mendapat kesempatan untuk mengaudit sebuah perusahaan otomotif, kita sudah memiliki latar belakang kegiatan otomotif yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan kita. Jadi, galilah dan pupuk minat kita walaupun sepertinya tidak terlalu berhubungan dengan pekerjaan kita saat ini.

Yang meningkatkan kualitas watak. Yang juga perlu diingat dalam mencari hal-hal yang harus dipelajari, adalah tidak sekedar pengetahuan dan keterampilan ”teknis” semata. Yang lebih penting adalah melakukan pembelajaran dalam hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas watak, misalnya: belajarlah juga bagaimana mengembangkan integritas, kejujuran, disipilin, keyakinan sukses, kepemimpinan dan komitmen. Semua ini bisa kita gali melalui pengamatan terhadap atasan, bawahan, teman sejawat, ataupun tokoh sukses di sekitar kita. Sumber lain yang juga sangat kaya akan hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas watak adalah buku-buku biografi orang-orang terkenal.

Prinsip Belajar

Lalu, prinsip apa yang dapat kita terapkan dalam melakukan pembelajaran yang berkelanjutan? Ada dua prinsip yang harus kita perhatikan, yaitu:
Komitmen. Douglas Brown, seorang pakar bahasa, mengatakan bahwa jika ingin belajar dengan sukses, prinsip utamanya adalah komitmen, yaitu: komitmen secara fisik, mental, dan emosional. Prinsip ini tidak hanya berlaku bagi pembelajaran di bidang bahasa, melainkan juga di bidang-bidang lain. Menurut Brown, agar belajar memberikan hasil yang maksimal, seorang pembelajar perlu secara fisik memberikan komitmennya dalam belajar, misalnya dengan menyediakan waktu khusus untuk belajar, terlibat secara fisik dalam mencari bahan-bahan yang harus dipelajari, ataupun mencatat hal-hal penting yang ditemui dalam belajar. Komitmen secara mental juga diperlukan, yaitu dengan memproses informasi yang didapatkan (bukan sekedar mendengar informasi selintas, dari kuping kiri ke kuping kanan, atau membaca selintas tanpa menyimak). Komitmen secara mental bisa dilakukan misalnya dengan mengaitkan informasi yang baru diterima, dengan pengalaman kita, dan mencari cara ataupun kesempatan untuk menerapkan informasi baru ini untuk meningkatkan kualitas pekerjaan, kegiatan, dan kehidupan kita. Sedangkan komitmen secara emosional melibatkan upaya untuk ”menyukai” apa yang kita pelajari. Tanpa rasa ”senang” akan sulit bertahan dalam belajar, terutama jika kita menghadapi bagian-bagian yang sulit untuk dicerna. Kesenangan akan topik yang dipelajari akan tumbuh jika kita bisa mencari dan menggali manfaat dari topik yang dipelajari tersebut, atau jika kita memiliki minat yang tinggi terhadap topik tersebut.

Praktik. Prinsip lainnya adalah praktik. Mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan yang baru dipelajari akan memberikan manfaat optimal bagi peningkatan kualitas hidup kita. Tanpa praktik, lama-kelamaan pengetahuan dan keterampilan tersebut akan menjadi usang. Seperti halnya belajar mengendarai mobil. Jika kita hanya ”membaca” dan ”memahami” petunjuk dalam mengendarai mobil, tanpa ada usaha untuk mencoba ”menjalankan” mobil tersebut, maka pengetahuan ini akan sia-sia, kita tidak akan bisa mengendarai mobil. Kita harus mau mencoba turun ke jalan. Pada mulanya pasti banyak hambatan, tapi dengan berjalannya waktu, dan keinginan untuk belajar dari tiap kesalahan yang kita lakukan, kita akan semakin mahir dalam mengendarai mobil. Jadi, pengetahuan dan keterampilan yang baru dipelajari, agar dapat memberikan manfaat yang optimal, perlu ”DIPRAKTIKKAN”.

Strategi Belajar Sukses

Setelah mengetahui manfaat belajar, apa yang harus dipelajari, dan prinsip yang bisa diterapkan untuk belajar, kita juga perlu mengetahui strategi belajar yang dapat memberikan hasil yang optimal. Banyak strategi belajar yang bisa kita pilih untuk diterapkan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

Belajar Efisien. Survei yang dilakukan terhadap orang-orang yang sudah mencapai posisi puncak membuktikan bahwa mereka memiliki kebiasaan ”belajar”. Pertanyaan selanjutnya: Bagaimana mereka bisa memiliki waktu belajar di tengah kesibukan mereka? Ternyata mereka bisa belajar kapan saja, dimana saja, dan dari siapa saja. Selain dari membaca buku, majalah dan surat kabar di rumah, mereka juga bisa memanfaatkan waktu menunggu, waktu makan siang, waktu di jalan (berkendaraan, maupun dalam penerbangan dan perjalanan dengan kereta api) untuk menambah ilmu.

Selain membaca, mereka juga memanfaatkan waktu mereka untuk melakukan observasi lapangan berbagai hal yang terjadi sekitar mereka. Cara lain yang mereka terapkan adalah mendengarkan informasi berbentuk ”audio” (kaset, CD) dalam perjalanan atau dalam melakukan pekerjaan lain. Mereka juga menyerap informasi penting dan menarik dari diskusi dengan sesama profesional, atasan, bawahan, pelanggan, guru, pelatih, dan juga dari pesaing. Mereka juga sering menyempatkan diri untuk menghadiri seminar, workshop, ataupun pelatihan singkat, ataupun menyempatkan waktu untuk meningkatkan diri melalui sarana elektronik (misalnya: anggota beberapa mailing list, memanfaatkan fasilitas e-learning).

Belajar Efektif. Seperti juga kepribadian, setiap orang memiliki gaya belajar yang berbeda. Ada yang lebih mudah belajar melalui audio. Ada yang lebih dapat menyerap informasi yang berupa tampilan secara visual. Ada juga yang lebih mudah menyerap informasi melalui gerakan. Selain gaya belajar yang dihubungkan dengan indera, gaya belajar juga bisa dihubungkan dengan waktu. Sebagian orang lebih mudah belajar di pagi atau siang hari. Sedangkan sebagian lagi lebih mudah belajar di malam hari. Yang penting adalah mengenali gaya belajar kita. Setelah itu kita bisa menyusun strategi belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar kita.

Misalnya, jika kita lebih mudah belajar di malam hari dan kita cenderung lebih efektif menyerap informasi dalam bentuk visual, maka strategi belajar kita adalah belajar hal-hal yang serius di malam hari dengan menggunakan input visual ataupun memvisualisasikan informasi yang kita terima (misalnya, kita bisa menggambarkan informasi yang kita baca dengan diagram, simbol-simbol, flowchart, grafik, yang dapat mempermudah pemahaman kita akan informasi yang akan kita serap).
Belajar Bijak. Pengalaman (terutama kegagalan, kesuksesan, kesalahan) adalah guru yang terbaik. Jadi, jangan pernah melewatkan kesuksesan yang kita raih, kegagalan yang kita alami, dan kesalahan yang kita lakukan tanpa memetik pengalaman dari hal-hal tersebut. Tetapi waktu kita untuk belajar dari pengalaman sangat terbatas. Kita tidak akan bisa memanfaatkan semua waktu yang kita dapatkan untuk mempelajari semua yang kita perlukan. Untuk itu, kita perlu belajar cerdas dan bijak.

Yang bisa kita lakukan antara lain adalah belajar tidak hanya dari pengalaman kita sendiri, terutama adalah belajar dari pengalaman orang lain. Banyak cara yang bisa dilakukan, antara lain adalah membaca biografi orang-orang sukses. Dari artikel, buku biografi setebal puluhan sampai ratusan halaman, kita bisa memetik pengalaman berpuluh-puluh tahun dari orang-orang yang riwayat hidupnya dibukukan. Cara lain adalah membaca hasil survei di bidang-bidang yang kita minati. Hasil survei memetakan data dan informasi yang diekstraksi secara profesional dari pengalaman orang lain juga. Cara yang lebih mudah adalah ”bertanya” pada orang-orang yang kita anggap lebih berpengalaman dari kita dalam bidang-bidang yang kurang kita kuasai. Dengan belajar dari orang lain, kita bisa melipatgandakan pengetahuan yang kita dapatkan (yaitu pengetahuan dari pengalaman kita sendiri ditambah dengan pengetahuan dari orang-orang lain).

Di dunia yang bergerak cepat, banyak perubahan terjadi. Untuk mengendalikan perubahan ini, kita perlu belajar. Tanpa belajar, kita tidak bisa mengejar perubahan tersebut. Dengan belajar pun, jika tidak dilakukan dengan kecepatan yang sesuai dengan kecepatan perubahan tersebut, belum tentu juga kita dapat bertahan. Jadi, belajar sudah merupakan suatu keharusan, tetapi yang lebih diperlukan adalah belajar untuk sukses, yaitu belajar dengan menerapkan strategi belajar efesien, efektif dan bijak. Selamat belajar!dan semoga sukses

KISAH ANAK TUKANG OJEK MASUK UI TANPA TES

JAKARTA, KOMPAS.com — Jejak Aisyah Nur Kumalasari (17), siswi kelas XII IPA 1 SMAN 40 Pademangan, Jakarta Utara, rasanya patut diteladani atau diikuti oleh pelajar di Jakarta atau bahkan di Indonesia.

Keluarganya yang tergolong miskin tak membuat Aisyah surut dalam menimba ilmu. Alhasil, gadis berparas ayu ini memetik hasilnya, yakni berhasil masuk perguruan tinggi di Universitas Indonesia tanpa melalui tes, tidak seperti calon mahasiswa lainnya.

Ya, nasib mujur saat ini tampaknya tengah berpihak pada warga Pademangan Timur VIII/5, RT 014/ RW 010, Pademangan, ini. Putri pasangan Bogi Saptono (46) dan Paryanti (40) ini berhasil melenggang ke kampus biru yang cukup bergengsi di negeri ini, Universitas Indonesia.

Menariknya, Aisyah berhasil masuk ke kampus itu tanpa harus bersusah payah seperti siswa lainnya, mengikuti berbagai macam tes. Tentu ini menjadi kebanggaan, baik bagi keluarga maupun tempatnya bersekolah, yakni SMAN 40 Jakarta. Kini anak seorang tukang ojek itu diterima di Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Ilmu Gizi.

Kedua orangtua Aisyah Nur Kumalasari (17), siswi kelas 12 IPA 1 SMPN 40 Pademangan, Jakarta Utara, tentu bangga dan berbesar hati menerima kenyataan bahwa anaknya diterima tanpa tes di salah satu universitas paling bergengsi di negeri ini, Universitas Indonesia. Namun, bagaimana dengan Aisyah sendiri?

"Alhamdulillah, saya sangat bersyukur, meskipun kondisi ekonomi orangtua tidak mampu, akhirnya saya diterima di UI tanpa harus melalui tes. Memang sudah cita-cita saya untuk membahagikan orangtua,” kata anak sulung dari pasangan Bogi Saptono (46) dan Paryanti (40) saat dijumpai di SMAN 40 Pademangan, Jalan Budi Kemuliaan, Pademangan, Rabu (31/3/2010).

Gadis belia yang akrab dipanggil Iis itu menuturkan, keseharian, ayahnya hanya seorang tukang ojek di wilayah Pademangan. Penghasilan ayahnya tidak lebih dari Rp 70.000 per hari.

Penghasilan itu hanya pas untuk biaya hidup sehari-hari, apalagi Paryanti, istri Bogi, hanya sebagai ibu rumah tangga biasa yang juga mengasuh seorang adik Aisyah bernama Jayanti Anisa Hapsari (5).

“Ya, mau gimana lagi, semua serba pas-pasan. Ayah orangnya tidak pernah mengeluh dengan situasi ekonomi, begitu juga ibu. Bahkan, ayah selalu menyemangati saya untuk terus belajar karena, dengan memiliki ilmu, jalan untuk sukses selalu ada,” kata gadis berparas cantik yang dikenal selalu ranking satu di kelasnya itu.

Berdasarkan rekam jejak di sekolahnya, sejak kelas satu, nilai rata-rata di rapornya adalah 8.

Yang membuatnya sedih adalah, kini penghasilan ayahnya dari mengojek menurun tajam karena ada proyek pemagaran jalan tembus menuju rel kereta api daerah Tanjung Priok. Kini penghasilan ayahnya itu tidak lebih dari Rp 50.000 per hari.

“Bapak bekerja pontang-panting demi keluarga. Saya tak ingin membuat bapak bersedih,” ujar gadis yang orangtuanya berasal dari Madiun dan Wonogiri ini. Oleh karenanya, dia bertekad untuk mewujudkan apa yang menjadi harapan orangtuanya.

Dalam kesehariannya, Aisyah tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana. Bahkan boleh dibilang, tempat tinggalnya di Pademangan Timur VIII/5, RT 014/ RW 010, yang didiami sejak kecil itu tidak layak huni. Bangunannya hanya berdindingkan tripleks dengan ukuran 2,5 x 8 meter dan berlantai semen.

Jika hujan, maka halaman rumahnya selalu digenangi air. Bahkan, jika ada kereta api lewat, maka dinding rumah selalu bergetar.

“Saya hanya berdoa, ya Allah, jangan sampai rumah ini rubuh,” kata Aisyah tersedu.

Maklum saja, jarak rumahnya dengan rel kereta api hanya 2,5 meter.

Saat ada Program Penelusuran Minat dan Kemampuan atau PMDK di Universitas Indonesia, Aisyah Nur Kumalasari (17) langsung mengikutinya.

Siswi kelas XII IPA 1 SMAN 40 Pademangan, Jakarta Utara, itu tidak sendirian. Ada 177 siswa kelas XII dari SMAN 40 Pademangan yang mengikuti program tersebut. Itu artinya, Aisyah harus bersaing dengan 176 orang temannya satu SMA.

Hasil seleksi menunjukkan, dari jumlah tersebut hanya empat siswa yang mendapat kesempatan mengikuti program PMDK dari UI. Dari kelas IPA ada Aisyah Nur Kumalasari dan Filda. Adapun dari kelas IPS ada Citra dan Anggun.

“Namun, dari tahap seleksi yang berhasil lolos masuk adalah Aisyah. Dia memang selalu juara kelas,” kata Endang Sri Astuti, Wakil Kepala SMAN 40 Pademangan.

Namun sayangnya, registrasi PMDK ini tidak masuk dalam program beasiswa 1000 Anak Bangsa karena dalam pengisian formulir Aisyah mencantumkan pendapatan orangtuanya dalam sebulan Rp 1 juta. Padahal, seharusnya pengisian tersebut kurang dari Rp 1 juta. Akibatnya, dia dikenakan biaya Rp 12 juta per semester. Tentunya dengan biaya tersebut, Bogi Saptono dan Paryanti—orangtua Aisyah—tidak akan mampu.

“Karena ini yang pertama kali untuk SMAN 40 Pademangan. Kalau Aisyah dapat program tersebut, dia hanya dikenakan biaya per semester Rp 100.000,” kata Endang didampingi Kepala SMAN 40 Pademangan Matalih.

Selanjutnya, pihak sekolah mengupayakan agar Aisyah masuk dalam program beasiswa bantuan operasional pendidikan berkeadilan yang diselenggarakan oleh UI. Akhirnya, Aisyah pun hanya dikenai biaya per semester Rp 900.000.

“Aisyah nanti tidak usah memikirkan uang semester kewajibannya itu karena pihak sekolah sudah menyediakan dana itu untuk biaya masuk. Aisyah harus bisa mempertahankan prestasinya agar beasiswanya berlanjut,” ungkap Endang.

Matalih sangat bangga dengan anak didiknya tersebut. Dia berharap keterbatasan ekonomi tidak harus menyurutkan apa yang ingin digapai. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan,” katanya berfilosofi.

Matalih berharap akan tumbuh tunas-tunas bangsa yang akan menjadi pelopor pembangunan di Indonesia ini. Bahkan, dia berjanji sekuat tenaga untuk mencarikan jalan keluar bagi siswa-siswa, terutama dari SMAN 40 ini, yang berbakat dalam menggapai pendidikan di perguruan tinggi. Semuanya itu demi terwujudnya tunas bangsa yang bermanfaat bagi negeri ini.

KISAH GINAN - MAHASISWA INFORMATIKA ITB

Kisah Ginan, Mahasiswa IF Angkatan 2006, dan “Perjuangannya” Kuliah di ITB

Ketika saya mengajar kelas kuliah Struktur Diskrit (mata kuliah tingkat II di Informatika ITB) pada tahun 2007, ada seorang mahasiswa yang menarik perhatian saya. Dia tidak duduk di kursi kuliah seperti teman-temannya, tetapi duduk di atas kursi roda. Berhubung kursi-kursi sudah disusun sedemikian rupa sehingga sulit digeser lagi, mahasiswa tersebut mengambil tempat setelah kursi paling ujung di barisan depan. Dia duduk dengan tekun mendengarkan kuliah saya di atas kursi rodanya itu, sekali-kali tampak mencatat dan membaca diktat kuliah yang saya tulis.
Setelah beberapa kali kuliah, saya baru tahu namanya Ginan. Di dalam daftar hadir tertulis hanya “Ginan” saja, tetapi sesungguhnya nama selengkapnya adalah Ginanjar Pramadita, sebuah nama khas Sunda. Sehari-harinya Ginan memang menggunakan kursi roda karena Allah SWT menakdirkannya mempunyai kaki yang (maaf) cacat sejak lahir sehingga dia tidak bisa berdiri dan berjalan. Praktis kemana-mana Ginan selalu mengandalkan kursi roda untuk berpindah dari satu ruang kuliah ke ruang kuliah yang lain, atau dari satu lab ke lab lain yang berbeda lantai.

Rasa penasaran membuat saya ingin mengenal Ginan lebih jauh. Beberapa kali saya bertemu dia di lorong gedung atau ketika menunggu naik anggung (lift). Saat itu saya sempatkan bertanya banyak hal tentang dirinya sembari meminta izin untuk menulis profil dirinya di blog ini. Bagi saya profil Ginan adalah luar biasa, karena dia mampu menembus kuliah di Informatika (IF) ITB yang terkenal paling susah masuknya. Masuk ITB saja sangat susah, apalagi masuk IF. Dan yang luar biasa adalah dengan kondisi fisiknya yang terbatas itu dia mampu eksis dan menunjukkan kemampuan yang tidak kalah dengan mahasiswa lainnya. Terakhir dia menorehkan prestasi karena dia dan teman-temannya (Team Leader: Garibaldi Mukti) mewakili Indonesia di final ASEAN XML Superstar Programming Contest (semacam Imagine Cup-nya Microsoft lah, tetapi yang ini penyelenggaranya dari IBM). Lihat pengumaman finalisnya dengan mengklik pranala ini. Mudah-mudahan saja kelompok Ginan menang yang hadiahnya — katanya — adalah jalan-jalan ke Cina.
Di bawah ini potret Ginan ketika berada di ruangan saya. Kemaren dia minta izin tidak bisa ikut ujian karena mengikuti lomba programming contest itu. Dengan seizin Ginan saya memotret dia lagi tersenyum.
DSC00501
Saya berbincang-bincang dengan Ginan. Mendengar perjuangan Ginan kuliah di ITB membuat saya kagum pada anak ini. Semangatnya yang tinggi untuk menuntut ilmu patut diacungi jempol. Ginan adalah orang Bandung asli. Setiap hari dia diantar oleh ayahnya ke kampus ITB dengan naik motor. Ginan tidak perlu repot-repot membawa kursi roda setiap hari dari rumah ke kampus, sebab kursi rodanya disimpan di sebuah ruangan di lantai dasar LabTek VI (gedung tetangga IF). Kunci ruangan itu dipegang oleh Ginan sendiri (terima kasih buat pengelola ITB yang memberikan kemudahan buat Ginan). Dengan kursi roda itu Ginan menjalani kuliah seharian di ITB. Sore hari ayahnya datang untuk menjemput pulang dan kursi roda itu disimpan kembali di ruangan yang sama. Begitu setiap hari yang dilakukannya dari Senin sampai Jumat.

Sebenarnya desain baru lanskap dan gedung ITB sudah menyediakan jalur khusus bagi kaum penyandang cacat (pemakai kursi roda), misalnya Gedung CC yang baru serta jalur khusus mendaki menuju area kawasan gedung oktagon. Gedung-gedung yang baru juga dilengkapi anggung (lift) sehingga Ginan tidak perlu naik turun menggunakan tangga lagi. Tetapi, gedung-gedung kuliah yang lama belum dilengkapi anggung, misalnya gedung GKU, Oktagon, dan TVST. Ketika tahap TPB (tingkat I), hampir semua perkuliahan dilakukan di gedung-gedung itu. Ruang-ruang kuliah bertebaran di lantai 1, 2, 3, dan 4. Ginan bercerita, setiap kuliah di gedung GKU, ayahnyalah yang menggendong dia dari bawah ke atas menuju ruang kuliah d lantai atas (waah, saya ingin sekali bertemu ayahnya yang hebat dan penyabar itu). Kadang-kadang temannya yang baik hati yang menolongnya turun naik ke ruang kuliah. Sungguh merepotkan jika membayangkan bagaimana perjuangan Ginan kuliah di gedung-gedung yang tidak punya fasilitas anggung itu.

Tetapi itu cerita masa lalu. Di tahun kedua, hampir semua kuliah dan praktikum dilakukan di Informatika sendiri, yaitu di Gedung LabTek V (yang sekarang berubah nama menjadi Gedung Benny Subianto). Sebagian besar hari-hari mahasiswa Informatika ITB dihabiskan di gedung ini, sebab ruang kuliah, ruang dosen, lab, ruang TU, ruang himpunan, dan lain-lain berada di lantai 1, 2, 3, dan 4, dan setiap lantai dapat dicapai dengan menggunakan tangga atau anggung. Praktis sejak tingkat II Ginan tidak mengalami kesulitan lagi menuju setiap lantai. Jadi, Ginan sungguh terbantu dengan kondisi gedung kami ini. Salah satu pertimbangan Ginan memilih Prodi Informatika adalah karena di gedung Prodi kami tersedia fasilitas anggung. Kata Ginan pula, dulu dia sempat mau memilih Prodi Matematika, tetapi karena di gedung Prodi Matematika tidak ada anggung, dia urung memilih Prodi ini. Akhirnya dia memilih IF, ternyata dia hepi kuliah di sini :-) . Pun untuk memilih tempat Kerja Praktek (KP) pada bulan Juni mendatang, pertimbangan anggung juga menjadi prioritas Ginan. Ginan memilih KP di Risti PT Telkom yang gedungnya ada anggungnya.
Bagaimana kalau listrik mati di ITB sehingga anggung tidak berfungsi?, tanya saya. Kalau sudah begini maka seringkali Ginan tidak bisa kuliah (tidak datang ke kampus).

Ketika SMA, Ginan sekolah di SMAN 5 Bandung di Jalan Belitung. Waah, ini salah satu SMA top di Bandung selain SMAN 3. Setahu saya gedung SMA 5 itu dua lantai, jadi bagaimana ceritanya ketika sekolah di sana? Ginan selalu meminta kepada pihak Sekolah agar selalu ditempatkan di kelas yang berada di lantai dasar. Kepala sekolah yang baik memaklumi hal ini, sehingga kelas 1, 2, dan 3 SMA kelas Ginan selalu ditempatkan di lantai dasar. Ketika sekolah di SD dan SMP 9 Bandung juga tidak masalah sebab gedung sekolahnya tidak bertingkat sehingga Ginan bisa menggunakan terus kursi rodanya.

Kata Ginan, sebenarnya dia tidak selalu duduk di kursi roda. Kursi roda hanya digunakan ketika kuliah atau keluar rumah. Kalau sudah di rumah dia cukup ngampar saja di lantai dan berpindah tempat dengan cara mengesot. Untuk menggunakan toilet Ginan juga tidak kesulitan sebab dia mampu melakukannya sendiri tanpa dibantu.
Kalau saya perhatikan, teman-teman kuliah Ginan juga tidak memperlakukan Ginan secara istimewa. Biasa-biasa saja. Begitu juga sikap para dosen. Saya yakin Ginan juga tidak menginginkan dia diperlakukan khusus atau dikasihani. Ginan mempunyai kemampuan akademik setara dengan yang lain, secara prestasi dia juga tidak kalah dengan teman-temannya itu. Itu kelebihan dia. Di ITB mahasiswa dinilai dari intelektualitas dan integritas moralnya, penampilan fisik seperti cantik, jelek, tinggi, gendut, pendek, cacat fisik, dan sebagainya tidak menjadi ukuran penilaian. Kehadiran Ginan di ITB menambah keragaman mahasiswa ITB, khususnya di Angkatan 2006, dan hal ini juga membuktikan tidak ada diskriminasi kepada siapapun untuk memperoleh pendidikan, karena pendidikan adalah hak setiap warga negara. Saya yakin ITB bangga mempunyai mahasiswa seperti Ginan.

Semangat hidup dan semangat belajar Ginan sangat tinggi. Terus terang saya kagum dengan tekad bajanya yang pantang menyerah itu. Satu hal yang dia pikirkan adalah mengenai masa depan, apakah ada perusahaan yang mau menerima dia bekerja nanti dengan kondisi fisiknya yang terbatas itu?, demikian yang disampaikan Ginan kepada saya.Tetapi saya yakin, pasti ada, Ginan. Indonesia ini negara maju, dan saya yakin orang-orang yang berpikiran modern pasti menilai seseorang dari kemampuan otaknya, bukan dari penampilan fisik semata. Tidak ada undang-undang yang melarang kaum penyandang cacat untuk bekerja menjadi PNS, pegawai BUMN, perusahaan swasta, dan sebagainya. Kalaupun tidak bisa bekerja di perusahaan orang lain, saya yakin menjadi enterpreuner adalah pilihan yang juga dipikirkan oleh Ginan. Menjadi enterpreuner di bidang teknologi informasi tidak sulit sebab pekerjaanya lebih banyak di depan komputer dan tidak memerlukan mobilitas di lapangan.

Sosok Ginan mengingatkan saya pada mahasiswa saya yang lama yang juga mempunyai disabbilities dengan kondisi yang mirip seperti Ginan. Dulu tahun 1993 ada mahasiswa IF namanya Taufik Hidayat. Kakinya juga (maaf) invalid dan untuk itu dia harus menggunakan sepasang tongkat untuk menyangga tubuhnya. Dengan bantuan kedua tongkat itu Taufik bisa berjalan pelan. Sekali lagi, untunglah di gedung jurusan kami ada anggung sehingga Taufik terbantu. Meski demikian, jika anggung tidak berfungsi, Taufik mampu berjalan naik turun tangga. Lulus S1 Taufik menjadi dosen di jurusan Teknik Informatika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta hingga sekarang. Dia mengambil S2 di Jerman dan sudah mempunyai istri dan seorang anak. Waktu saya ke Yogyakarta saya ketemu Taufik. Setiap hari dia ke kampus dengan mengendari sepeda motor roda empat yang didesain khsusus untuk dia. Istri dan anaknya bangga dengan ayahnya itu. Salam buat Taufik Hidayat jika dia membaca tulisan ini.

Kembali ke Ginan. Satu hal yang menjadi impian Ginan adalah bisa hidup mandiri, artinya tidak selalu bergantung pada orang lain. Misalnya bisa berpindah secara mobile tanpa dibantu, bisa naik bis atau kendaraan umum yang menyediakan fasilitas bagi pemakai kursi roda, ada jalur khusus bagi pemakai kursi roda, dan sebagainya. Sayangnya negeri kita masih belum sepenuhnya menyediakan fasilitas buat kaum difabel. Kayaknya perlu waktu cukup lama baru ada fasilitas itu dijumpai di mana-mana.

Namun Ginan pantang menyerah. Sosok Ginan sekali lagi membuktikan bahwa Allah SWT sungguh Maha Adil. Dia tidak memberikan kekurangan pada makhluk-Nya tanpa ada kelebihan yang menyertainya. Di balik kekurangan yang ada pada Ginan, Allah SWT memberikan dia kelebihan yaitu otak yang cerdas sebagai modal bagi dia menapaki hidup kelak. Allahu akbar. Semangat hidup dan perjuangan Ginan patut ditiru dan semoga sosok Ginan memberi inspirasi bagi siapapun untuk meraih cita-cita. Kekurangan fisik bukanlah halangan untuk terus maju.

Sumber:
http://rinaldimunir.wordpress.com/2009/05/25/kisah-ginan-mahasiswa-if-itb-2006-yang-mempunyai-semangat-baja/

Selasa, 10 Juli 2012

DI UI KUTEMUKAN MIMPIKU - AKHDA AFIF ILMU KOMPUTER UI

“Di UI Kutemukan Mimpiku”
Akhda Afif Rasyidi (Ilmu Komputer 2004)
Saya bersyukur atas karunia yang diberikan Allah SWT berupa kelebihan untuk cepat dan banyak menyerap berbagai ilmu baru. Tidak hanya untuk tujuan akademis tetapi juga dalam berbagai hal lainnya seperti dalam olahraga, organisasi, bahkan dalam hidup itu sendiri. Oleh karena itulah, perjalanan akademis dari SD hingga SMA, Alhamdulillah dijalani dengan baik. Bahkan menurut beberapa orang, malah termasuk istimewa.
Peringkat satu kelas ketika SD sudah jadi langganan. Dari kelas 1 hingga 6 hanya sempat satu caturwulan peringkat tersebut menjadi milik teman saya. Demikian pula di SMP. Meskipun persaingannya lebih ketat, hanya di kelas 1 saya tidak menempati peringkat pertama. Selebihnya, dengan izin Allah SWT, peringkat pertama kelas tidak pernah lepas dari tangan. Beranjak ke SMA, kebiasaan tersebut tidaklah berubah. Allah masih mengizinkan saya meraih prestasi tersebut. Bahkan dari kelas 1 hingga 3 IPA, saya selalu jadi juara kelas. Namun, untuk menjadi juara paralel, saya hanya sempat mengecapnya beberapa kali.
Prolog tersebut tidak untuk “gagah-gagahan”. Prolog tersebut saya tulis untuk memberikan gambaran bahwa perjuangan saya mungkin berbeda dengan cerita-cerita lain di buku ini yang memunculkan heroisme belajar keras, perjuangan tak kenal lelah, atau memori mengesankan lainnya. Mengingat kekurangan itulah, kemudian saya tertarik untuk menuliskan sisi lain perjuangan ketika saya masuk kampus ini dan hidup di dalamnya.
Cita-cita berkuliah mulai muncul sejak akhir kelas 1 SMA menjelang kenaikan ke kelas 2. Sama seperti teman sebaya lainnya, saat itu masih bingung dan belum menentukan pilihan pasti akan ke mana saya setelah lulus dari sekolah ini. Yang sempat tercetus saat itu adalah obsesi kuat untuk menjadi ahli nuklir.
Saya ingin membangun teknologi nuklir di Indonesia. Nuklir yang tidak bertujuan untuk kepentingan militer, tapi untuk manfaat lainnya seperti untuk sumber listrik. Maka, untuk mewujudkan impian itu, saya harus masuk ke jurusan nuklir. Setelah mencari dari berbagai sumber, ternyata hanya ada satu jurusan nuklir di Indonesia. Jurusan teknik nuklir di UGM.
Saat menceritakan obsesi saya ini kepada teman-teman di sekolah, reaksi awal yang mereka berikan adalah keheranan dan menertawakan. Mungkin karena baru kali ini ada anak yang obsesif untuk masuk ke jurusan teknik nuklir. Jurusan yang, mungkin, tidak populer dan bergengsi. Bidang ilmu yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Bahkan, beberapa teman mengingatkan tentang tingginya risiko radiasi seperti kemandulan hingga kematian.
Mungkin karena sudah terlalu obsesifnya, resiko dan berbagai cibiran itu tidak saya hiraukan. Bagi saya, belajar bukanlah karena popularitas, gengsi, dan sebagainya. Belajar itu dilandasi oleh minat dan cita-cita. Percuma saja kita masuk ke jurusan yang keren atau apapunlah namanya, tetapi tidak merasa nyaman di dalamnya karena tidak sesuai dengan minat kita. Masa depan dan segala risiko itu bagi saya adalah konsekuensi. Intinya, saat itu saya sangat yakin bahwa nuklir adalah jalan hidup serta masa depan.
Suatu ketika orang tua sempat mengajak saya berdiskusi tentang minat kuliah pasca lulus SMA. Saat saya ceritakan tentang obsesi itu, Mereka sama terkejutnya dengan teman-teman. Lantas, dicecarilah saya dengan berbagai pertanyaan dan keberatan. Hampir sama dengan apa yang teman-teman respon.
Saat itu mereka menyarankan saya masuk ke jurusan kedokteran. Belum ada di keluarga besar orang tua yang menjadi dokter. Apalagi jika dilihat dari prestasi akademis yang saya peroleh, beliau percaya saya bisa masuk ke jurusan kedokteran di kampus favorit. Namun, obsesi saya ini sudah terlanjur menghujam. Saya jelaskan tentang mimpi saya. Saya juga menjelaskan meskipun dari nilai akademis mencukupi, tetapi untuk mata pelajaran yang terkait dengan dunia kedokteran, bukan sesuatu yang saya minati dan kuasai.
Menurut saya ini masalah yang sangat serius. Saya tidak ingin menyakiti perasaan orang tua. Akan tetapi, saya juga tidak ingin mengorbankan masa depan yang telah saya yakini. Beliau berdua memang tidak memaksa. Namun, dari binar mata dan lisan, saya yakin ada harapan besar supaya anak pertamanya ini bisa mengikuti keinginannya untuk menjadi dokter.
Saya pun memohon kepada Allah SWT supaya diberikan jalan keluar terhadap permasalahan ini. Alhamdulillah, Allah SWT membukakan salah satu jalan. Di pertengahan Januari 2004 ketika pelajaran sedang berlangsung, saya dipanggil kepala sekolah. Sekolah menawarkan kepada saya untuk menjadi peserta program bibit unggul daerah Kota Tegal di ITB. Alhamdulillah, saya segera mengiyakan. Saat itu juga saya diminta melengkapi beberapa berkas yang dibutuhkan.
Setelah berdiskusi dengan orang tua dan keluarga besar ibu tentang program ini, akhirnya saya memutuskan untuk memilih jurusan Teknik Informatika. Pilihan ini mempertimbangkan bahwa tidak ada jurusan kedokteran dan teknik nuklir di ITB. Maka, dipilihlah jurusan “Jalan tengah”. Jurusan yang mampu mengakomodasi kepentingan saya serta ibu dan Bapak. Jurusan ini dipilih juga karena saran dari pihak keluarga besar yang memberikan informasi bahwa dunia IT akan sangat prospektif pada masa-masa mendatang. Apalagi berdasarkan beberapa informasi, Teknik Informatika merupakan jurusan yang paling bergengsi karena grade-nya paling tinggi. Baik di ITB, maupun di kampus se-Indonesia.
Namun, kegembiraan tersebut tidak bertahan lama. Selang beberapa minggu pihak sekolah memberikan informasi bahwa pemerintah Kota Tegal membatalkan program tersebut. DPRD menolak untuk memasukkan ke dalam anggaran karena terlalu besar anggaran yang dikeluarkan. Apalagi hanya digunakan untuk satu orang. Mungkin Allah punya jalan lain yang jauh lebih baik, batin saya saat itu.
Sekitar awal Maret 2008, seorang teman memberitahukan bahwa ada formulir PPKB dari UI. PPKB adalah Program Prestasi dan Pemerataan Kesempatan Belajar. Di kampus lain lebih lazim dikenal dengan nama PMDK. Mudah-mudahan ini jawaban doa dari Allah, harap saya. Ketika mengisi formulir itu, kembali saya diskusikan dengan keluarga. Saya menjelaskan kembali bahwa saya tidak berminat masuk ke kedokteran, meskipun nilai saya memenuhi. Saya juga bertanya kepada teman-teman dan beberapa kakak kelas yang ada di UI.
Dari sekian banyak informasi dan pertimbangan, di hari terakhir batas waktu penyerahan saya menuliskan pilihan jurusan Ilmu Komputer (Ilkom). Alasannya serupa dengan ketika memilih Teknik Informatika di ITB dulu, “Jalan tengah”, prospek masa depan, ditambah dengan kompetensi saya di pelajaran Matematika yang kata kakak kelas sesuai dengan apa yang akan dipelajari di Ilkom.
Namun, saya tidak terlalu berharap diterima di UI melalui jalur PPKB ini. Saya sadar diri. Prestasi saya di luar sekolah sangat minim. Apalagi saya harus bersaing dengan puluhan atau mungkin ratusan siswa lain yang jauh lebih berprestasi. Dari sisi historis pun tidak mendukung. Terakhir lolos lewat PPKB UI pada tahun 2000 atas nama Taryono Purba. Oleh karena itulah, ketika ada UM UGM saya memberanikan diri untuk mengikutinya. Tujuannya tentu saja Teknik Nuklir-nya. Berbekal semangat tinggi namun dengan persiapan seadanya, saya mengikuti ujian tersebut.
Menjelang berakhirnya UAS, datang tawaran dari teman untuk mempersiapkan SPMB di Jakarta. Dia sudah mendaftar ke bimbingan belajar Nurul Fikri (NF) di dekat kampus UI. Ajakan tersebut saya sampaikan kepada orang tua. Mereka mendukung. Saat itu memang status saya belum jelas. UM UGM belum pengumuman. PPKB UI pun tak ada kabar. Jadi, memang tidak ada salahnya jika saya mengkuti persiapan SPMB di Jakarta. Bagi saya, ini juga sekaligus sebagai latihan sebelum benar-benar kos ketika kuliah nanti.
Pertama kali melihat kampus UI, terasa desiran yang berbeda. Kegembiraan yang, bahkan tidak saya rasakan ketika berada di UGM saat tes UM UGM. Menurut saya, ini sebuah pertanda. Mungkin di sinilah jodoh saya. Di sinilah seharusnya saya melanjutkan proses belajar pasca SMA nanti. Bukan di tempat yang lain.
Karena itulah, saya benar-benar serius belajar di NF. Nilai nasional tryout pertama sekitar 705 masih belum aman untuk masuk ke Ilkom UI. Alhamdulillah tryout berikutnya, nilai saya menembus angka 907 dan 810. Nilai yang lebih dari cukup untuk menembus Ilkom UI saat itu.
Namun, keceriaan hati itu segera tergantikan oleh kebingungan. Ketika hasil UM UGM diumumkan, ternyata saya diterima di Teknik Nuklir, jurusan yang begitu saya idam-idamkan. Orang tua meminta saya untuk mengambilnya. Paling tidak sebagai sikap jaga-jaga andaikan PPKB maupun SPMB nanti tidak tembus.
Setelah saya memikirkan lebih matang, saya berpendapat untuk tidak mengambilnya. Selain karena faktor biaya yang cukup mahal, jauh di dalam hati saya terhujam keyakinan kuat bahwa saya harus dan pasti bisa masuk UI. Orang tua sempat keberatan dengan pilihan tersebut. Mereka khawatir saya gagal masuk UI. Namun, saya tetap bersikukuh sambil menjelaskan tentang hasil tryout yang sudah berada di posisi aman untuk bisa masuk UI. Akhirmya orang tua pun setuju dengan argumentasi saya.
Hingga pada suatu waktu selepas shalat Jumat di Depok, saya menerima SMS dari Bapak untuk segera menelepon rumah. Ada berita penting, kata beliau di SMS itu. Segera saya menghampiri wartel terdekat untuk menelepon rumah. Ternyata orang tua menerima surat pemberitahuan dari UI bahwa saya diterima di Ilkom lewat jalur PPKB. Saya bersyukur sekali saat itu. Luar biasa benar karunia Allah ini. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, hampir sangat tipis harapan untuk masuk. Namun, kuasa Allah benar-benar tidak terduga.
Tahun 2004 adalah awal adanya uang pangkal (admission fee) di UI. Untuk Ilkom dikenakan biaya sebesar 25 juta. Orang tua sempat khawatir dan meminta saya untuk tidak perlu mengambil UI. Namun, saya menyampaikan bahwa UI akan memberikan keringanan bahkan pembebasan jika kita tidak mampu membayar sebanyak biaya yang ditetapkan. Di surat pemberitahuan juga dicantumkan mengenai pemberitahuan tersebut. Dari senior-senior yang ada di UI juga menenangkan supaya jangan khawatir dengan biaya. UI akan membantu dengan keringanan dan penawaran beasiswa yang jumlahnya cukup banyak.
Alhamdulillah, proses pengajuan keringanan saat daftar ulang sangatlah mudah. Dengan bekal syarat administrasi yang harus dipenuhi dan wawancara singkat, saya hanya dikenakan admission fee sebesar 7,5 juta rupiah dan dicicil selama lima semester. Bapak tidak keberatan dengan jumlahnya. Apalagi pihak Fakultas juga memberikan keterangan bahwa sistem yang digunakan adalah subsidi silang. Keluarga kami memang bukan keluarga kaya. Namun, saya tahu Bapak adalah orang yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan harga diri. Bagi beliau, alangkah sangat bersalahnya jika mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya. Itulah salah satu hal yang membuat saya bangga terhadapnya. Benar-benar ayah yang sangat menginspirasi.
Perjalanan panjang di UI pun dimulai. Di kampus inilah saya dapat mengeksplorasi banyak potensi yang terpendam dalam diri saya. Tidak hanya prestasi secara akademik yang mampu saya pertahankan dengan baik, tetapi juga berbagai prestasi lainnya dalam berbagai hal. Dari mulai menjadi perwakilan UI dalam lomba karya tulis di Jambi, menjadi pengurus inti beberapa organisasi di Fakultas, memperoleh beasiswa dari PPSDMS dan Indosat, terpilih menjadi Juara III Mahasiswa Berprestasi tingkat Fakultas, serta beberapa prestasi lainnya.
Belajar di kampus ini pun telah membuat banyak perubahan dalam pardigma berpikir. Semula, bagi saya hidup hanyalah untuk kesejahteraan diri dan keluarga. Namun, lingkungan di UI telah mengubah pola pikir saya bahwa hidup adalah untuk berkontribusi sebaik mungkin memperbaiki kualitas masyarakat di negeri ini.
Alhamdulillah, sekarang (November 2008) saya sedang mempersiapkan untuk melanjutkan studi master di King Abdullah University Science and Technology (KAUST), Arab Saudi. Program yang saya ambil adalah Applied Mathematics and Computational Science, mendalami kompetensi ilmu yang saya pelajari sewaktu kuliah S1.
Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman dan membangkitkan cita-cita. Bukanlah utopia untuk bisa berkuliah di UI. Bukan status sosial dan kekayaan yang membuat seseorang tidak bisa berkuliah di UI. Pembedanya hanyalah ketekunan dan semangat. Itulah yang saya lihat dari binar mata rekan-rekan saya di kampus.
Sukses tulisan ini tidak perlu diukur dengan banyaknya sanjungan melalui SMS, telepon ataupun email kepada saya. Namun, jika ada satu dua hati yang mulai tergerak dan bersungguh-sungguh berjuang masuk ke UI, saya akan mantap memohon kepada Allah, “Ya Allah, jadikanlah goresan ini sebagai pemberat timbangan kebaikanku di hari perhitungan nanti”
Ditulis dengan cinta teriring doa, tengah November 2008
Akhda Afif Rasyidi

JALAN MENUJU UI - NOVEL ILMU HUKUM UI

“Menapak Bumi Menggapai Langit (Sebuah Persembahan)”
Novel Em Alam (Ilmu Hukum 2005)
Hari beranjak sore. Matahari sedikit demi sedikit mulai rebah ke bumi. Panas yang tadi siang sungguh terik kini berubah menjadi hangat saja. Adzan Ashar telah berkumandang setengah jam yang lalu. Sementara kaki ini masih saja khusuk bersimpuh di pe-Shalat-an sebuah rumah kuno di pinggiran desa tak terkenal, Gembong Kulon, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal. Desa yang ketika kusebut namanya orang akan bertanya lanjut, ”Gembong sih neng endi?”
Kebiasaan itu sudah kuubah agak lama sejak kurasakan capek menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama. Setiap kali orang menanyakan tentang tempat tinggalku, kujawab singkat saja: Benjaran, dan selesailah urusan tanya jawab tentang tempat tinggal coz semua orang relatif tahu Benjaran, walau pada kenyataanya tidak ada hubungan sama sekali antara Gembong dan Benjaran.
Khusuk itu masih berlanjut sampai akhirnya tak terasa bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi memberi warna berbeda pada sore itu, biru. Kupanjatkan doa pada Allah SWT:
“Wahai Allah, Engkaulah segalanya. Yang mengadakan dan meniadakan hidup ini serta mengaturnya. Tentang apakah aku bisa kuliah di UI ato tidak itu juga 100 % kehendak-Mu. Jika Engkau tak berkenan, aku ikhlas ya Allah. Aku ridho. Tapi kasihanilah keluargaku? Ibuku ……..”
Kalimat itu tak selesai terputus oleh isak. Air mata ini semakin deras mengucur. Aku tak bisa membayangkan betapa kecewanya keluargaku jika kali ini aku gagal lagi. Ya, hari ini adalah hari pengumuman SPMB. SPMB kali ini adalah SPMB keduaku. Tahun kemarin aku gagal dan kali ini, entahlah…
“Pel, jare pan maring Tegal? Cepetoh, ngko kesoren!” Suara ibu memaksaku untuk menyeka sudut-sudut mata ini. Aku berusaha sebisa mungkin menyembunyikan tangisku. Tapi bagaimanapun tenyata ketahuan juga. Mataku merah. ibuku cukup memahami keadaan itu. Beliau berkata lirih: “Sing penting dhewek wis usaha karo ndonga. Gusti Allah mesti bakal mein sing paling apik. Ora usah nangis…” Kata bijak beliau melantun sejuk memenuhi ruang-ruang dada. Membuat darah semakin kencang berdesir dan nafas semakin tak beraturan. Pada saat itu ingin sekali rasanya aku memeluk beliau dan menumpah ruahkan segala sisa air mata yang ada.
Dalam kondisi semacam itu bayangan kekecewaan keluarga tentang kegagalanku ternyata tidak bisa hilang begitu saja. Sore itu memang kurencanakan pergi ke Tegal untuk melihat pengumuman SPMB bersama teman-teman. Kuambil sepeda ontel kesayangan. Sepeda yang selalu menjadi teman kemana aku pergi. Setelah berpamitan dan memohon do’a kepada ibu aku langsung beranjak, berlalu. Ku-genjot pedalnya pelan saja. Satu-satu berirama. Santai. Mencoba menikmati suasana sore desa-desa yang kulalui. Pasangan, Langgen, lapangan Ekoproyo sampai kemudian sampai di tempat penitipan sepeda Brug abang. Ramai orang jalan-jalan sore tak mampu juga membuat hati ini ikut riang. Pertanyaannya “Apakah kali ini aku akan gagal lagi?”
Oia, sebentar. Dari tadi sepertinya kita belum kenalan. Namaku Novel Em Alam. Di rumah orang-orang biasa memanggilku ‘Nopel’. Ini adalah penyakit orang desa yang males nyebut huruf yang susah termasuk kemudian mengganti huruf ‘v’ pada namaku menjadi ‘p’. Di SMP aku dipanggil Novel. Pas masuk SMA, aku merasa bahwa kayaknya namaku kurang keren. Novel. Ah, kaya nama cewek. Akhirnya aku memutuskan untuk menggantinya dengan nama baru; Openk. Keren kan? (hehehe… ya jere dhewek mboran). Setelah lulus dari SDN Gembong 01 aku sekolah di SMP 1 Adiwerna dan kemudian melanjutkan ke SMA 1 Tegal.
OK, kita lanjutkan ceritanya. Tadi sampai mana yah? Oia, nggenjot sepeda. Tapi nanti dulu. Mungkin ada baiknya kalau sebelumnya aku cerita tentang kisah SPMB pertamaku. Sebenernya sederhana saja. Kegagalan SPMB pertama dulu lebih disebabkan modal nekatku. Berawal dari brifing kakak Sintesa UI di depan kelas. Mereka bercerita tentang enaknya kuliah di UI. Terkenal, banyak artis, fasilitas lengkap, kualitas tidak diragukan, prospektif, dan biaya terjangkau. Siapa yang tidak tergiur?
Apa lagi untuk orang seperti aku yang berasal dari keluarga sederhana. Point terakhir tentang ‘biaya yang terjangkau’ bak oase di tengah padang pasir yang tandus. Ini cerita saja, Untuk uang saku sekolahku dulu ibuku harus menjual tempe ke tetangga-tetangga setiap paginya. Uang tiga ribu sampai empat ribu yang di dapatnya langsung diberikan kepadaku yang sudah setia menunggu di depan pintu dengan keadaan rapi dan siap meluncur ke sekolah. Kebiasaan itu berlangsung tiga tahun selama aku SMA. Apalagi Bapakku sudah almarhum sejak aku kelas satu SMA. So, beliaulah yang mempunyai beban berat mengurus tetek bengek kebutuhan sekolahku dengan dibantu oleh kakak.
Aku anak ke-7 dari 8 bersaudara. Aku adalah satu-satunya dari anak ibuku yang sekolah formal sampai tingkat setinggi ini, SMA. Semua saudaraku hanya lulus SD saja. Jelas, bahwa dalam hal ini ibuku sangat ‘berharap lebih’ kepadaku dibanding pada saudaraku yang lain. Hal itulah yang kemudian menjadi pemacu semangatku. Mempersembahkan yang terbaik dengan kuliah di Universitas terbaik mungkin akan sedikit membuat beliau lupa tentang keringat yang pernah menetes. Ya, tekad itu sudah bulat. Aku harus kuliah di UI dan menjadi orang sukses. Membahagiakan beliau, membahagiakan keluarga.
Saat kelulusan tiba, jantung ini berdebar kencang. Kebijakan standar nilai untuk kelulusan baru dimulai satu tahun sebelumnya. Jadi maklum saja kalau debar jantung semacam ini dialami oleh setiap siswa kelas tiga pada saat itu. Alhamdulillah… Alhamdulillah… Ternyata aku lulus juga walau dengan nilai yang sangat pas-pasan. Standar minimal. Wajar, saat sekolah aku bukanlah siapa-siapa. Maksudnya, tidak pernah menorehkan prestasi akademis apapun. Tak pernah ranking. Sekali-kali diketahui urutan prestasi di kelas paling banter urutan 23, eh, pernah juga mencapai urutan 17 ding.
Ya sekitar situ lah. Ga jauh-jauh. Dengan modal otak yang pas-pasan tersebut aku tetap ngeyel menempatkan UI sebagai Universitas yang aku tulis sebagai pilihan di formulir SPMB-ku. Cerita selanjutnya bisa di tebak. Aku gagal. Tapi heran tak terkirakan. Kegagalanku tak serta merta membuatku sedih. Malah saat pas membuka pengumuman SPMB di warnet bareng temen-temen, aku masih sempatkan diri untuk tertawa. Ga tahu. Ini memang jadi trend mark-ku yang terkenal sebagai anak yang tidak pernah sedih atau selalu bahagia.
Hari-hari terus berlalu. Sampai tiba saatnya aku dan teman-teman SMA bikin janji kumpul-kumpul. Bernostalgia, ceritanya. Beberapa bulan tak bertemu membuat keadaan banyak yang berubah. Kita saling bertanya kabar termasuk kemudian bertanya tentang siapa kuliah di mana. Banyak diantara mereka yang menjawab sekarang kuliah di UNDIP, STAN, UNSOED, dsb. Ketika pertanyaan itu sampai kepadaku, aku hanya menjawab datar: ”aku dirumah aja”. Jawabanku seketika membuat teman-teman tertawa terbahak-bahak. Riang.
Tak ada rasa bersalah. Ternyata di sinilah titik tolaknya, anti klimaks-nya. Lha kok ya aku jadi bahan tertawaan? Kebodohanku? Apakah aku serendah ini? Sehina ini? Sehingga hal yang seharusnya jadi kesedihan malah jadi bahan tertawaan orang? Aku terdiam saja. Kutundukkan kepala dalam-dalam. Teman-teman tidak cukup pandai menangkap sinyal itu. Mereka terus saja tertawa.
Sepulang dari kumpul-kumpul tersebut aku jadi semakin memahami bahwa kekecewaan itu sudah seharusnya ada dari dulu, Kesedihan itu sewajarnya ada dari dulu. Kenapa hatiku begitu keras? Kenapa? Kenapa aku lupakan tentang kisah ibu yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkanku? Kenapa aku tidak menyadari bahwa tujuh saudaraku begitu bertumpu pada keberhasilanku? Dari situ semangatku kembali buncah. Aku pengin bener-bener membuktikan bahwa aku pasti bisa!!! Bisa!!! Bisa!!! Membuktikan bahwa aku mampu masuk UI, membahagiakan orang tuaku, menepis tawa ejekan teman-teman.
Enam bulan sebelum SPMB kedua aku pergi ke Jakarta. Niatku belajar SPMB disana. Deket UI, semoga bisa menambah semangat. Apa lagi deket kakak-kakak SINTESA, jadi kalo mengalami kesulitan belajar tinggal minta bantuan mereka. Disana akhirnya aku ketahui juga, hidup di Jakarta ternyata memang tidak mudah. Butuh perjuangan ekstra. Masalah pergaulan harus hati-hati. Kalo di jalan ga boleh plonga-plongo kalo ga mau di palak. Ga boleh nyante coz bisa “Ketinggalan kereta”, dsb.
Untuk masalah biaya hidup sehari-hari aku nyambi ngajar. Ya kecil-kecilan gitulah. Hasilnya lumayan. Satu kali pertemuan Rp 70.000, – . Satu Minggu dua kali pertemuan. Silakan hitung sendiri pendapatanku waktu itu dan jumlah itu sudah cukup untuk bayar kost serta makan sehari-hari dengan catatan makan sederhana saja; nasi setengah dengan jenis lauk oreg, kangkung, buncis, tauge atau semacamnya. Tidak pake ndog, iwak ato ayam karena itu sudah tergolong makanan mewah. Jika sudah ga tahan kepengin makan makanan mewah itu, maka terpaksa sehari makannya sekali saja. Dirapel.
Enam bulan adalah waktu yang sebentar untuk ukuran perjuangan masuk UI bagi orang yang tidak mempunyai modal apa-apa seperti aku ini. Ku-genjot habis-habisan tenaga ini untuk belajar, belajar dan belajar. Jenuh atau bosan tetep ada, bahkan indikasi putus asa sering kali menghampiri. Tapi aku punya senjata ampuh untuk melawan segala bentuk energi negatif semacam itu yang jelas sangat berpotensi menghalangiku dalam mencapai cita-cita. Kutulis saja daftar alasan mengapa aku harus kuliah di UI. Ada banyak sekali. Setiap rasa malas muncul aku langsung baca ‘lontar ajaib’ itu. Semangatku tumbuh lagi seketika. Di tembok kamar kost-ku juga aku tulis dengan tulisan-tulisan motivasi seperti:
“Penk, Kamu adalah Harapan Keluarga. Ingatlah!!!”
“Tidak Kuliah di UI Adalah Sebuah Keterpaksaan…”
Masih banyak lagi. So, tidak ada alasan lagi untuk tidak belajar. Semangat. Semangat. Semangat…
Datanglah saat yang mendebarkan itu. SPMB 2005. Dua hari yang benar-benar sangat menentukan. Tekadku untuk kuliah di UI sangat bulat. Dalam hati aku tanam dalam-dalam; “Kalau ga kuliah di UI, ngapain kuliah?” Maka kutulis pilihan kesatu dan keduaku adalah UI. Dua hari itu aku lalui dengan penuh optimis.
Kutunggu waktu sebulan untuk mengetahui hasilnya. Do’a semakin aku gencarkan. Tidak ada yang aku percayai lagi selain pertolongan-Nya. Waktu satu bulan sangat mungkin terjadi apa-apa. Dalam SPMB, pintar bukan jaminan bisa masuk ke perguruan tinggi yang diinginkan. Masalah teknis sangat bisa menjadi penyebab kegagalan. LJK kelipet atau kotor sehingga tidak dapat dibaca komputer, atau bahkan sampai hilang itu sangat mungkin terjadi. Makanya banyak-banyak berdoa adalah sebuah pilihan yang tepat karena pada kenyataanya bahwa Dia-lah Sang Maha Pengatur segala.
Satu bulan berlalu dan sampailah pada kisah genjot sepeda yang aku tulis di awal cerita. Aku ke Tegal untuk melihat pengumuman SPMB. Kali ini aku belajar dari pengalaman. SPMB kemarin pas habis Maghrib aku langsung ke warnet dan jelas bahwa warnet di mana-mana penuh berjubel orang yang mempunyai kepentingan sama, melihat hasil SPMB. Maklum, pengumuman dibuka jam 18.00 WIB. Nah, kali ini aku ke warnet agak maleman. Jam 11-an. Biar sepi dan akses internetnya cepet.
Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
AKU DITERIMA !!!!
Perjuanganku selama ini ga sia-sia. Allah memang selalu memberikan jalan kepada orang yang bersungguh-sungguh. Terima kasih ya Allah. Terima kasih. Aku bahagia tak terkira. Aku senang tak terperi. Ibarat ada orang yang ngasih duit se-koper mungkin tak akan sebahagia pada saat itu. STOP!!! Tunggu dulu. Siapa sangka, ternyata dalam bahagia masih ada aja derita.
Sahabat terbaikku, teman seperjuanganku, teman ngobrol di saat kumpul-kumpul di mana teman-teman yang lain ngobrolin bab kuliah yang kami ga tahu apa-apa, teman mancing di PAI, teman lari-lari waktu kita sama-sama pengin ngurusin badan, teman yang sama-sama gagal SPMB tahun lalu, yang kemudian SPMB lagi tahun ini, yang sekarang ikut melihat hasil SPMB denganku ditempat yang sama, teman yang setelah ini aku tidur di rumahnya karena ga mungkin aku pulang ke Gembong karena waktu dah malem banget, DIA GAGAL LAGI. Dia kecewa lagi. Aku berusaha menyembunyikan tawa bahagiaku. Diam. Aku tak ingin tertawa diatas kekecewaan orang lain, apa lagi sahabatku ini.
“Selamat ya Penk…”
Dahsyat. Kata-kata itu keluar juga dari mulutnya. Sekuat tenaga aku tahan air mata yang sudah nggawir-nggawir di ujung mata. Kupeluk saja dia, dan kuucapkan terima kasih tulus kepadanya. Sejak saat itu aku berjanji dalam hati tidak akan pernah melupakannya. Menjadi sahabatnya sampai kapanpun. Dalam keadaan apa pun. Alhamdulillah, sampai saat aku menulis ini, yaitu empat tahun kemudian kami masih berhubungan baik. Telepon, sms-an dan kalo pulang ke Tegal aku usahakan selalu main ke rumahnya. Sekarang aku kuliah di Depok dan dia kuliah di Tegal saja.
OK, kita lanjutkan. Besok paginya aku tak ingin terlalu lama memendam berita gembira ini. Aku pulang. Aku tak bisa menahan rasa yang … Ah silahkan Anda tebak sendiri apa yang aku rasakan saat itu. Lebih dari bahagia. Di angkot, di jalan, saat ku-genjot kembali sepedaku menuju kerumah, aku tak bisa mingkem alias terus tertawa. Orang-orang juga aneh melihatku. Tapi biarkan saja yang penting aku ga mengganggu mereka. Terus saja aku tertawa bahagia. Pengin rasanya saat setiap ketemu orang aku hampiri dia kemudian aku bisiki telinganya; “Hei, kamu tau ga? Aku diterima di UI lho… Aku ini mahasiswa UI lho…” ato sekalian aja pergi ke mesjid dan membuat pengumuman pake TOA bahwa aku, Novel Em Alam, telah diterima di UI. Ah, lebay banget. Tapi serius. Itu adalah reaksi yang sangat wajar.
Sampai rumah keluargaku sudah duduk berjajar-jajar di bangku ruang tamu. Tawaku mampu mereka tafsirkan dengan tepat.
“Ketrima neng apa, pel?” Kakakku mengawali kalimat.
“Fakultas Hukum UI.” Aku menjawabnya lugas.
“Alhamdulillah….” Kalimat itu keluar serentak tanpa harus dikomando lebih dulu. Mereka ikut senang. Mereka ikut bahagia.
Beberapa hari kemudian kami syukuran. Mengirim makanan kepada tetangga sekitar rumah. Ketika mereka bertanya-tanya tantang syukuran untuk apa, ibu menjawab dengan penuh rasa bangga dalam dada: “Kye syukuran, anake aku ketrima neng UI Fakultas Hukum. ”Sebenernya ibuku pun ga begitu paham tentang apa itu UI dan Fakultas Hukum. Beliau hanya menyampaikan apa yang aku sampaikan kepada beliau.
Ketahuilah, respon para tetangga biasa-biasa saja. Datar. Kami cukup prihatin. Bukan tujuan kami minta simpati, diperhatikan atau bahkan dielu-elukan. Tapi kenapa mereka harus diam? Apa alasannya? Ternyata memang benar. Mereka untuk tau FHUI saja sudah susah. UI mungkin pernah dengar. Mungkin satu kali atau dua kali, lewat TV. Bahkan mungkin ada yang belum pernah. Mereka berpikir, keterima di FHUI, so what gitu lho? Emang kenapa? Untuk alasan apa kami berekspresi dengan penuh antusias? Apa pengaruhnya?
Jelas ini adalah trouble besar buatku. Orang-orang di desaku sangat sedikit memberikan perhatiannya pada dunia pendidikan. Seakan-akan sudah menjadi budaya di desaku bahwa setiap kali lulus SD anak-anak mereka langsung diterjunkan untuk kerja. Laki-laki ke sawah, nyitak bata. Buat perempuan ke (desa) Tembok, njait. Bisa dihitung yang sekolah ke tingkat lanjut. Apa lagi sampai ke perguruan tinggi.
Ini adalah tanggung jawabku untuk menyadarkan mereka betapa pentingnya pendidikan. Manfaat yang dirasakan mungkin tidak langsung, tapi pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang tidak hanya bermanfaat bagi diri atau keluarga tapi merupakan manifestasi dari partisipasi kita secara langsung dalam pembangunan yaitu dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, demi kehidupan yang lebih baik untuk anak cucu kita.
Waktu terus berjalan. 3 semester sudah aku lalui. Akhirnya, saat yang kelak aku takkan pernah melupakannya sampai kapanpun, dia datang juga. Senin, 17 Pebruari 2007. Saat yang seakan-akan waktu berhenti sejenak. Bumi lengang tanpa suara dan gerak. Langit pucat. Bunga-bunga mendadak layu. Wajah-wajah menunduk muram. Saat yang sampai saat ini aku tak mampu meng-kwalifikasikannya dalam bentuk kata-kata. Beliau, ibuku tercinta, dipanggil Allah SWT.
“Indah nian takdirmu ya Allah. Di saat aku sedang berjuang untuk membahagiakannya. Disaat aku baru menyadari bahwa aku benar-benar butuh dia. Disaat kepala ini kusandarkan penuh di pundaknya. Ibuku tercinta, Kau ambil dia. Ya Allah, dia yang belum sedikitpun aku membalas jasa-jasanya. Dia yang belum sempat aku menyeka keringat peluh di wajahnya. Dia yang belum sempat aku mengajaknya bersilaturahmi ke rumah-Mu, Baitullah. Dia yang belum sempat aku ajak jalan-jalan dengan sedan Lexus mewah-ku kelak; Kau ambil begitu saja. Indah nian takdirMu ya Allah…
Cukup lama aku terdiam dan termangu menekuri takdir-Nya. Sampai kemudian aku sempat berpikir, jika ibuku telah tiada UI ini untuk siapa? Air mata ini seakan telah mengering setelah beberapa minggu aku habiskan waktu hanya untuk meratapi kepergian beliau. Ah, berapapun lama waktu yang aku habiskan untuk ini sepertinya hanya akan memperdalam rasa sedih yang kurasakan.
Akhirnya semangatku kembali bangkit ketika memahami bahwa untuk membahagiakan beliau bukan hanya dengan cara yang langsung seperti ketika beliau masih hidup. Menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungan dengan meniatkan kebaikan atas dasar cinta kepada Ibu dengan harapan Allah akan mengampuni dosa-dosa serta meridhoinya, mungkin akan jauh lebih baik.
Hal tersebut berhasil membangkitkan semangatku untuk kembali meneruskan perjuangan yang sempat terhenti. Aku tetap bertekad untuk sukses. Dengan kesadaran penuh bahwa ternyata masih banyak orang yang membutuhkan, sedikit demi sedikit aku bangun lagi motivasi diri. Tidak usah muluk-muluk bicara dalam lingkup negara, faktanya masyarakat Tegal sendiri masih butuh untuk diperhatikan. Tegal, tempat aku dilahirkan, memahami satu-satu arti hidup dan tempat harapan aku menutup mata untuk yang terakhir kalinya kelak.
Aku harus ada untuknya. Mengabdi kepadanya untuk membangun masyarakat yang beriman, cerdas dan bermartabat. Aku berjanji suatu saat kelak aku pasti pulang ke Tegal. Mempersembahkan semua apa yang aku punya. Membuat Tegal sebagai daerah terbaik dengan kehidupan yang harmony; pejabat yang anti korupsi, masyarakat yang madani dan pemuda-pemudi yang demen ngaji. Oh indahnya. Aku yakin bahwa Tegal yang benar-benar ngangeni lan mbetahi karena keminclong lan moncer masyarakate kelak pasti akan terwujud. Tunggu saja. Insya Allah.

PERJALANAN RAKHMAT MERAIH UI

“Kupas Kulitnya Untuk Mengetahui Rasanya”
Rakhmat Lukmeidi (Manajemen 2006)
Saya dilahirkan di sebuah perumahan sekolah yang sangat kecil dan tua di Desa Kreman, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal pada tanggal 8 Mei Tahun 1988 bertepatan dengan Senin Pahing. Tidak genap satu tahun kemudian, orang tua saya memboyong keluarganya ke Desa Karangmulya di Kecamatan Suradadi dan Kabupaten yang sama. Sampai sekarang tempat itu sebagai tempat tinggal kami dan mungkin sampai kami merasakan nikmatnya menghirup nafas terakhir.
Saya adalah satu dari tiga bersaudara. Di tengah-tengah keluarga inilah saya mendapat banyak curahan kasih sayang dari orang tua dan keluarga sekalipun mereka belum pernah mengatakan itu di depan saya. Namun saya mengetahui akan hal itu dari pada orang lain termasuk Anda. Entah bagaimana mereka mengakui kehadiran saya, namun sikap mereka menunjukkan harapan terhadap saya kelak untuk bisa membahagiakan mereka, membuat mereka bangga akan saya, dan mungkin menjadi anaknya sebagai bahan pembicaraan yang selalu hadir dalam ucapan orang tua di tengah pembicaraan dengan orang yang mereka kenal.
Saya hidup dalam suasana keluarga yang mungkin berbeda dengan orang lain, dari keadaan ekonomi, keharmonisan keluarga, sampai mungkin pada nilai spiritual yang ditanamkan oleh orang tua saya. Orang tua saya adalah pegawai negeri sipil, tentunya itu bukan merupakan hal yang istimewa. Saya sering mendengar ucapan yang menunjukkan betapa sulitnya ekonomi yang harus dipenuhi orang tua saya saat saya terlibat dalam pembicaraan mereka maupun secara tidak sengaja saya mendengarnya.
Diawal semester biaya administrasi sekolah ketiga anaknya seolah menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mereka. Namun, itulah yang membentuk tekad saya untuk menjadi orang yang mampu untuk berbuat lebih baik, meringankan beban mereka, mampu memberikan waktu luang mereka untuk beristirahat dan melupakan kejenuhan karena memikirkan masa depan anak-anaknya. Saya bangga akan itu semua dan saya jadikan hal itu sebagai belati untuk mengejar cita-cita yang mereka harapkan dari diri saya. Saya sangat bersyukur ada di tengah-tengah mereka.
Sejarah pendidikan saya tidaklah seistimewa orang lain yang mungkin pernah mendapat beberapa gelar prestasi. Saya sempat merasakan pendidikan kanak-kanak di TK Pertiwi selama dua tahun sebelum saya melanjutkan ke SD Negeri Karangmulya selama enam.tahun. Tidak ada sesuatu yang istimewa di selama saya bersekolah disini hanya selalu merasakan juara kelas. Kemudian pendidikan saya berlanjut ke SMP Negeri 3 Tegal.
Sesuatu yang aneh dan mengherankan bagi tetangga dan rekan-rekan di tempat tinggal saya. Bagi mereka tidak semestinya setiap pagi saya pergi jauh ke Kota sejauh 20 Kilometer hanya untuk mendapatkan pendidikan setingkat menengah yang membuat saya tidak meluangkan waktu untuk bisa berkumpul dengan mereka. Memang benar, sangat sedikit waktu saya untuk bisa bertemu dan berbincang dengan mereka sampai akhirnya praktis tidak memiliki kawan di desa sampai sekarang.
Seolah masuknya saya ke SMP di Kota telah mengenalkan dunia baru. Saya yang anak desa saat itu, dipenuhi rasa takut dan ketidakpercayaan diri yang amat besar yang justru menyudutkan saya sebagai orang yang lemah. Bekal saya yang dibawa dari desa tidak cukup untuk membangkitkan optimisme saya bahkan sekalipun saat berbincang-bincang dengan orang lain. Menilai orang lain sebagai seseorang yang memiliki sesuatu yang lebih semakin menenggelamkan apa yang saya miliki. Namun demikian, hal itu tidak berlangsung selamanya.
Bahkan saya katakan “Pendewasaan saya akan pendidikan telah muncul dari tempat ini”, saya harus lebih keras dalam menghadapi sesuatu, mengenal hal yang baru, mengerti atas apa yang seharusnya, dan patut dicintai, dan tidak sekali-sekali meremehkan atas apa yang saya miliki. Akhirnya saya dapat melewati rintangan selama di SMP pada tahun 2003. Bahkan mendapatkan prestasi di luar sekolah untuk pertama kalinya sebagai siswa SMP dengan nilai terbaik di kalangan KORPRI se Kecamatan Suradadi.
“Kawan akan memberikan apa yang tidak kita miliki”
Pernyataan yang cukup pendek dan harus selalu Anda dengar selama saya masih hidup di dunia. Untuk mengerti hal itu, mari kita simak apa yang saya mulai dari selepas SMP : Beberapa Minggu yang lalu persis sebelum saya tulis artikel ini, baru saya sadari bahwa dalam diri saya ada hal yang buruk yang mungkin akan menghancurkan saya dan menyulitkan masa depan saya, yaitu “Orang yang selalu pesimistis atau tidak percaya diri”. Sekalipun kita dan orang lain di sekeliling kita menyadari bahwa kita memiliki kemampuan atau karakter yang sulit orang lain dapatkan, kemampuan kecerdasan, pemahaman yang baik, jiwa yang mulia dan sebagainya, namun itu semua tidak akan memberikan peranan yang besar.
Kembali ke latar belakang pendidikan saya, saya tidak mungkin berada di sekolah SMA Negeri 1 Tegal seandainya Allah SWT tidak mengizinkan saya memiliki kawan yang setia. Sebelumnya saya tidak yakin untuk dapat melanjutkan ke sekolah ini, yaitu kembali ke masalah tadi, saya orangnya pesimistis, selalu ragu akan kemampuan. Saya sempat bertekad untuk melanjutkan ke sekolah selain SMA Negeri 1 Tegal. Namun “Kawan akan memberikan apa yang tidak kita miliki’. Mereka membujuk saya untuk membangkitkan semangat. Meninggalkan jauh-jauh karakter yang mustahil dapat memberikan manfaat pada diri saya. Mereka menemani saya dan mengisi kekosongan akan semangat untuk bisa bersekolah di Sekolah Menengah Atas.
Selama di SMA nyaris saya tidak merebut prestasi kelas maupun sekolah. Waktu-waktu saya termasuk dua tahun awal saya habiskan untuk bergaul, berorganisasi, dan bersekolah. Jangan heran, Anda melihat saya menempatkan bersekolah pada tempat terakhir. Memang benar, faktanya saya tidak begitu banyak meluangkan waktu untuk belajar. Namun tidak saya katakan bahwa sekolah sebagai prioritas terkahir. Salah besar bila Anda menginterpretasikan demikian.
Diluar jam pelajaran bahkan saat jam pelajaran saya selalu sempatkan untuk berkumpul dengan teman-teman yang memiliki kepentingan sama. Sedangkan, hampir tiap hari saya pulang ke rumah pada pukul delapan paling cepat sampai sebelas malam. Dalam keadaan letih dan tidak jarang diguyur hujan, ditemani angin malam yang tidak menyehatkan, dan kemungkinan macetnya sepeda motor. Sesampai di rumah pun jarang saya memanfaatkan waktu untuk belajar. Bukan juga saya jarang belajar. Itu dilakukan karena saya letih dan bersiap untuk berangkat esok paginya selepas shalat Shubuh. Berangkat ke sekolah yang jaraknya tidak bisa dikatakan dekat dan lebih tepatnya selalu menghadapi ancaman maut selama diperjalanan. Dengan kehidupan yang demikian, saya semakin memahami posisi saya, dan harapan orang lain termasuk keluarga.
Setiap perjalanan pulang malam, diatas sepeda motor milik orang tua saya, satu hal yang tidak pernah saya lewatkan, hal yang selalu saya pikirkan, yaitu “Dengan keadaan saya seperti ini, saya akan menjadi apa kelak, saya malu pada orang tua saya, adik saya, tetangga yang hampir tiap hari melihat saya bersusah payah bersekolah”. Hal lain adalah selama perjalanan pulang sering saya menjumpai anak SD berhamburan di jalan, anak kecil yang belum tahu berapa hutang dan tanggungan kedua orang tua mereka serta hutang negara yang kelak menjadi tanggungan mereka, anak kecil yang tidak memahami bagaimana negeri ini berdiri dan bertahan dengan pemimpin yang tidak bisa dikatakan suci dari banyaknya dosa.
Saya menangis melihat mereka, atas kepolosan mereka, saya pikir mereka adalah sedikit dari sekian banyak korban di negeri ini, atas permainan politik beberapa golongan, atas perebutan kekuasaan yang justru menjadikan mereka mengalami kehidupan seperti ini. Saya ingin menyampaikan bahwa, tidak seharusnya mereka mengalami pendidikan dan kesejahteraan seperti ini, saya tidak berani berjanji bahwa saya akan merubahnya lebih baik, namun Allah SWT telah memberikan kesempatan dengan sedikit menganugerahi kemampuan pada saya dan anda untuk bisa membantu mereka.
Ringkasnya adalah dengan latar belakang saya dan keluarga, serta saudara-saudara saya yang kesulitan, jauh dari kehidupan yang lebih nyaman yang seharusnya mereka miliki dan mereka terjebak dalam ketidaktahuan maka “lingkungan mengharapkan saya membantu mereka”
“Kawan akan memberikan apa yang tidak saya miliki”
“Lingkungan mengharapkan saya membantu mereka”
Bimbang I
Bersiaplah untuk memasuki inti dari apa yang anda atau teman-teman butuhkan. Tahap di mana banyaknya tekanan dan uji mental untuk menerawang seperti apa masa depan kita. Situasi yang butuh sebuah solusi, yaitu masa di mana kita harus menentukan pendidikan di perguruan tinggi.
Memahami Dibalik Fenomena Menjelang UAN
Menjelang akhir pendidikan saya di SMA memaksa saya mulai untuk berpikir lebih serius, berpikir tentang apa yang harus saya pilih, persiapan seperti apa yang harus saya lakukan. Bahkan lebih dari itu saya mulai melihat dunia yang sebenarnya, apa yang diinginkan dunia terhadap saya, adakah tempat untuk saya, yaitu tempat untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada orang banyak. Berpikir serius, maksudnya adalah akan melibatkan banyak pihak, dan tidak ditentukan oleh saya atau anda sendiri. Saat di mana akan melibatkan keinginan dan kondisi orang tua, melibatkan emosi anda yang bercampur dengan kemampuan yang dimiliki dengan kesukaan serta bakat untuk menentukan pilihan. Anda tidak akan bisa melakukan yang demikian kecuali “Bersikap dewasa”.
Belum menjalani Ujian Nasional, berbagai informasi baik tentang UAN maupun UM dan SPMB bermunculan. Bingung saya untuk menyikapi hal tersebut. Standar UAN yang dinaikkan, penambahan mata ajar untuk diuji serta penerapan KBK untuk pertama kalinya dalam sejarah SMA di Tegal, misalnya, sedikit mengancam saya dan teman-teman sekolah. Pastinya hal itu membuat saya tidak bisa bermain-main lagi, panik dan tidak tahu pasti yang harus dilakukan terlebih dahulu. Persiapan materi ujian pun sama sekali belum disiapkan, terlebih saya tidak mengikuti kursus atau bimbingan belajar khusus menghadapi UAN.
Tugas yang diberikan guru setiap mata pelajaran pun semakin banyak, menumpuk, dan harus diselesaikan sesegera mungkin. Salah satunya yang saya ingat waktu itu, sebagai siswa kelas XII IPS, saya mendapat tugas Ekonomi yang sangat banyak dari Bapak Hadi, yaitu mengumpulkan referensi soal untuk lima sampai tujuh tahun terakhir guna dijawab dan dijelaskan masing-masing soal.
Saya cenderung mengeluh dan menyesalkan, kenapa justru beliau memberikan atau memadatkan waktu siswanya untuk mengerjakan tugas, bukankah kami memerlukan waktu yang ekstra untuk menyiapkan materi yang belum dikuasai bahkan sebisa mungkin menyiapkan SPMB. Seakan materi selama tiga tahun tidak cukup untuk dipelajari sampai mampu dipahami dalam waktu yang sedemikian singkat ”Bagai punguk merindukan bulan”. Namun demikian, jangan berhenti membaca sampai disini atau anda akan tersesat alias pelajaran dari pengalaman belum usai.
Suatu waktu saya sempatkan untuk merenung dan memikirkan apa yang sudah saya alami : “Keluhan yang sudah saya lontarkan ke beberapa teman, beberapa tugas yang saya abaikan, dan banyaknya tugas yang saya kerjakan hanya dengan mencontek untuk memenuhi nilai”
Alhasil, saya menemukan makna didalamnya. Saya tidak perlu merisaukan itu, jangan terlalu mengeluh sekalipun sulit bagi saya melakukannya. Apa yang saya dapat adalah tugas-tugas yang diberikan oleh seorang guru tidak lain memang cukup memakan waktu dan tenaga, mengurangi jatah kita untuk melakukan hal yang mestinya diprioritaskan. Namun demikian, itu tidak lain juga sebagai suatu alat bagi mereka yang memiliki kesadaran rendah untuk bisa belajar menyiapkan UAN. “Sebagai alat” maksudnya adalah media atau proses pencapaian yang bisa dikatakan juga persiapan yang dalam hal ini UAN.
Tugas sama halnya dengan sebuah latihan, saya tidak bisa membaca saja untuk bisa mengerti dan mampu mengerjakan soal UAN tanpa buku. “Memiliki kesadaran rendah” bahwa siswa terutama saya perlu adanya paksaan untuk belajar, sekalipun saya tahu itu. Bagi mereka yang memiliki kesadaran rendah untuk bisa bertindak maka perlunya paksaan dari pihak lain termasuk guru dengan memberikan tugas sehingga mereka akan belajar. Hal tersebut sama halnya dengan sebuah peraturan yaitu sekalipun bisa dikatakan atas kesadaraan masing-masing namun itu tidak akan mungkin. Oleh karena itu, perlunya peraturan dan paksaan sama halnya dengan kasus diatas, penambahan mata ajar yang diujikan pada UAN juga demikian. Saya berpikir positif atau dengan sisi atau sudut yang berbeda.
Penambahan mata ajar pada UAN memberatkan? Saya katakan “tidak”. Apa yang menjadikan hal tersebut memberatkan. Toh, akhirnya akan diuji juga, hanya saja memang berbeda dari penguji sekolah dan nasional.
Dari sekolah mungkin kita berharap ada kebaikan dari guru dan sebaliknya apabila di UAN tidak bisa diharapkan. Sekali lagi saya berpikir positif atau dengan sisi yang berbeda saat itu, bagi saya mata ajar yang di UAN-kan akan menghasilkan output nilai yang adil dan terstandardisasi. Saya tidak rugi apabila kemampuan saya dan teman-teman di sekolah yang berbeda akan diukur dengan standar yang sama atau tidak sesuka sekolah masing-masing. Namun demikian, itu terlepas dari saya setuju UAN atau tidak. Jalani dulu apa adanya.
Tidak mencontek saat mengerjakan tugas rumah sangatlah sulit, namun tidak untuk mengerjakan saat ujian tengah semester, ujian semester, maupun ujian nasional. Dari saya sekolah di SMP sangat tidak suka untuk mencontek disaat ujian seperti itu. Namun demikian, naluri untuk mendapatkan nilai bagus tidak terbendung dan akhirnya mencontek. Hanya saja, diakhir tahun SMA saya semakin menyadari dan sedikit dapat mengendalikan rasa itu.
Saya mulai terbiasa untuk tidak melakukan hal tersebut, memang susah, tapi Alhamdulillah dapat saya lakukan walaupun sering bertengkar dengan teman karena saya tidak bisa memberikan apa yang mereka mau. Saya berusaha menanamkan pada diri saya bahwa saya benci mencontek dan itu harus dilakukan apabila kita benar-benar mempercayai adanya Tuhan dan adzabnya.
Berdasarkan pengalaman yang saya alami, beberapa kawan yang saya kenal dari sekolah saya dulu hingga sekarang, tak seorang pun dari mereka yang bebas dan hobi mencontek memperoleh tempat yang baik, yaitu sekolah yang ideal, perguruan tinggi yang bagus, bahkan sulit untuk lulus dalam ujian yang diadakan pihak luar seperti SPMB dan UM PTN.
Allah Maha Adil, Dia mengenali siapa yang pantas untuk mendapatkan tempat yang baik dan siapa yang akan takabur atau sombong dan berbuat tidak baik ketika mereka diberi tempat yang nyaman. Jadi, jauhilah mencontek sekalipun itu berat. Mencontek tidak lain adalah mememanjakan diri, menipu terhadap dirinya dan orang lain, menggantungkan kekuatan terhadap orang.
Saya semakin dapat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Mungkin bisa dikatakan aneh bagi teman-teman saya saat itu bahwa saya sering tidak senang apabila guru tidak masuk atau kelas dibatalkan. Saya akan merasakan rugi besar, waktu saya terbuang dan saya harus mendengar tawa dari mereka yang senang akan itu. Saya selalu merasa rugi apabila ada beberapa materi yang terlewatkan. Hal tersebut yang membuat teman dikelas sering kesal pada saya.
Saya terlalu sering bertanya pada teman baik di kelas maupun di luar dan mereka anggap saya terlalu mengungkit-ungkit hal yang tidak penting, bertanya yang terlalu sederhana dan tidak bermutu, serta terlalu mengganggu. Jadi, manfaatkan waktu sebaik-baiknya dan “Saya rugi waktu saya terbuang percuma”. “Saya rugi waktu saya terbuang percuma” saat itu memberikan dua pilihan pada saya, yaitu “Saya akan bersenang-senang saat ini atau bekerja keras untuk mendapatkan kesenangan esok hari”.
“Saya akan bersenang-senang saat ini atau bekerja keras untuk mendapatkan kesenangan yang lebih besar esok hari”.
Pandangan Yang Buruk
Jauh hari sebelum UAN di mulai, SMA saya kedatangan teman-teman atau tepatnya saya panggil kakak-kakak mahasiswa dari UI. Mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi yang dulu sangat saya benci. Mahasiswa yang hanya mengharapkan para siswa yang masih polos untuk dapat tergiur dan mengikuti jejak busuk mereka. Mahasiwa yang terlena akan kehidupan orang lain yang sengsara yang tidak cukup kemampuan finansial guna bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
Mereka datang hanya untuk memberikan kabar “Inilah saya, lulusan salah satu SMA di Tegal yang sekarang sedang menjalani pendidikan S1 Kedokteran Universitas Indonesia” dan suara takjub pun bergemuruh di kelas yang terpusat ke jas kuning yang ada di depan mereka. Sekali lagi Universitas mereka yang hanya menerima pemasukan untuk mengisi perut para pengelola kampus.
Beberapa kali saya sampaikan kepada teman dan begitu pula teman yang saya ajak bicara berpandangan serupa. Intinya adalah demikian. Mereka (mahasiswa) yang datang menutupi segala ketidakenakan yang ada di kampus mereka, informasi menggiurkan yang mereka sampaikan seperti beasiswa dan sebagainya adalah jauh dari kemampuan siswa pada umumnya untuk bisa mendapatkanya, mereka adalah istimewa dan sangat sulit untuk bisa menjadi seperti mereka. Pada akhirnya timbulah rasa tidak suka akan sikap yang bertele-tele mereka di depan kelas.
Jangan berhenti membaca sampai disini atau anda akan tersesat alias pelajaran dari pengalaman belum usai !
“Saya tidak akan percaya akan informasi Perguruan Tinggi sebelum saya merasakan kuliah di sana”, itu adalah inti dan ringkasan dari saya dan mungkin banyak siswa-siswi lainya. Sulit bagi siswa-siswi semacam itu untuk dapat mengerti tentang ketulusan informasi yang diberikan mahasiswa kecuali dengan satu cara: Mereka kuliah dan keluar lagi sampai menemukan perguruan tinggi yang menurut mereka baik. Oleh karena itu, saya akan ceritakan bagaimana saya mendapatkan pencerahan agar pembaca juga tidak tersesat.
Sampai pada pasca UAN saya masih tidak suka dengan yang namanya Universitas Indonesia bahkan sampai pada ujian saringan masuk SPMB. Saya hanya berusaha untuk bisa memenuhi harapan orang tua saya agar saya bisa bersekolah di STAN. Ya, STAN, di mana banyak orang tua menaruh harapan pada institusi pendidikan tersebut lepas dari bagaimana nanti nafkah akan didapat. Stop! Saya tidak akan membahas STAN disini, saya hanya akan membawa teman-teman mengikuti jejak yang dinilai baik dari saya.
Sebenarnya banyak dari siswa-siswi di sekolah saya dan mungkin di banyak sekolah menengah atas memiliki kesempatan yang besar untuk menjadi mahasiswa perguruan tinggi swasta. Mereka mendapatkan beasiswa dari perguruan tinggi yang mendatangi sekolah. “Beasiswa” itu hanya bahasa mereka saja, kemasan yang dibuat menarik yang pada dasarnya merekalah yang membutuhan kita.
Kembali dalam masa menghadapi SPMB, Saya semakin tidak yakin atas kemampuan saya. Persis seperti yang saya alami saat SMP menjelang SMA. Jangankan memilih perguruan tinggi, menentukan pastinya saya akan kuliah pun semakin berat, yaitu seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa ini adalah saatnya berpikir serius dan dewasa dengan melibatkan banyak pihak.
Saat-saat genting seperti ini, perguruan tinggi negeri manapun bagi saya sangat berarti. Target tertinggi saat itu adalah Undip, disamping saya berharap UNNES dan Unsoed dengan syarat hanya berkuliah di sekitar Jawa Tengah saja, sebuah permintaan dari orang tua saya.
Bahkan “sangking” frustasinya saya, sempat saya putuskan untuk berkuliah di swasta saja dan itu sudah cukup menurut saya, keputusan yang merupakan imbas dari sihir mereka yang mempromosikan perguruan tinggi ke kampus. Namun masih ada waktu satu bulan lebih untuk menjalani tes masuk.
Mengekor
Pada akhirnya, suatu hari Allah SWT memberikan sebuah titik terang. Dengan sekali lagi saya mengingatkan “Kawan akan memberikan apa yang tidak saya miliki”. Begitulah kalau boleh saya katakan yaitu saya diajak oleh teman saya untuk mengikuti bimbingan belajar di Jakarta, bimbingan belajar yang sempat dikoordinir oleh kakak-kakak mahasiswa dari UI. Mastur Mujub Ikhsani, namanya (mahasiswa Fakultas Hukum Undip angkatan 2006), salah seorang teman yang memiliki kakak mahasiswa keperawatan UI yang sedang menyelesaikan tugas akhir kala itu.
Kebetulan juga orang tua dia adalah kenalan dari orang tua saya. Sebagai gambaran, orang tua saya memiliki karakteristik seseorang yang sangat konservatif terhadap keadaan kala itu. Oleh karena itu, sangat sulit untuk bisa memberikan pengertian akan sebuah kenyataan bahwa saya harus memutuskan demikian dan sebagainya. Saya pun tidak akan berani untuk menyampaikan keinginan saya untuk mengikuti saran teman saya begitu saya pulang ke rumah. Saya hanya bisa mencari cara lain untuk bisa berkuliah.
Suatu saat, ayah saya mendekati saya di ruang keluarga, dengan ekspresi muka yang layu, terlihat terlalu banyak pikiran, bersama ibu saya. Mereka mengatakan bahwa siang harinya mendapatkan saran dari ayah teman saya untuk mengikuti bimbingan belajar di Jakarta. Saran orang tua yang penuh pengharapan terhadap anaknya yang mana pada dasarnya saya tahu bahwa mereka tidak begitu tahu akan perjalanan menuju dunia perkuliahan.
Baru saya sadari kala itu bahwa seorang anak tidak cukup meluluhkan hati orang tua, hanya dengan bantuan orang lain yang mungkin mereka anggap pantas untuk berbicara, saya terlalu muda untuk itu. Sebenarnya, mereka ragu memberangkatkan saya ke Jakarta, mereka tidak yakin saya akan kuliah di mana. Yang mereka tahu adalah keinginan saya untuk kuliah di Undip dan itu pun atas pertimbangan bahwa sebatas itu saja orang tua saya sanggup mengizinkan saya.
Saya boleh menjalani kuliah asal jangan di Universitas selain yang saya sebutkan diatas termasuk Universitas Indonesia dan saya yakinkan mereka bahwa saya tidak akan melakukan itu. Dalam hati saya tercermin bahwa saya tidak akan mengecewakan mereka, mereka menaruh harapan besar tidak pernah mereka bayangkan seperti apa, saya akan lakukan yang terbaik untuk itu sebab mereka sudah terlalu capek untuk memikirkan masa depan anaknya.
Seperti Apakah Medan Pertempuran
Entah bagaimana saya sampai di Jakarta, saya sempat merasa seorang yang diperdayakan oleh seorang teman untuk bisa menemaninya sampai tujuan dia tercapai. Tapi itu hanya sekilas dalam pikiran saya.
Satu setengah bulan saya habiskan di Kota Jakarta. Inilah untuk kedua kalinya saya ke Jakarta. Begitu asing bagi saya sebab terakhir kali adalah pada tahun 2002, itu pun hanya dalam rangka studi tour sekolah. Kami berdua tinggal di Depok sekalipun hampir tiap hari harus pulang pergi ke Jakarta untuk mengikuti persiapan SPMB. Tempat tinggal yang terpisah dan mengasingkan diri dari rekan-rekan yang dikoordinir Sintesa yang tinggal di Jakarta di mana secara rutin mereka mendapat bantuan kelas tambahan dari Sintesa. Sebenarnya ada tujuan lain saya di Jakarta yang membuat orang tua saya merestui saya untuk ke sini, yaitu memudahkan saya untuk mendaftar STAN.
Pelajaran di lembaga saya ikuti dengan sangat serius. Hampir saya tidak percaya bahkan sampai saat ini bahwa saat itu saya mengatur belajar sedemikian baik. Menyimak secara serius pelajaran di kelas dan mati-matian memahami materi sesampai di kosan. Hampir setiap harinya saya luangkan waktu di kosan untuk belajar dan melatih kemampuan menjawab soal SPMB sampai pukul satu pagi. Konseling pun saya ikuti baik kepada teman-teman Sintesa maupun di lembaga yang saya ikuti sampai pada akhirnya mendekati SPMB.
Proses selama satu bulan lebih tersebut tidak berarti tanpa gangguan. Saya hanya membawa uang seadanya, di mana saya harus berhemat untuk menggunnakanya. Terlebih lagi saya tidak memiliki alat komunikasi. Setiap kali saya akan berkomunikasi dengan yang lain, saya pasti meminjam handphone teman saya. Sangat sulit untuk mengetahui keadaan saya oleh keluarga di rumah mengingat tidak ada alat komunikasi di rumah.
“Sebesar apapun badai di hadapan kita, jangan mengelak darinya sebelum kita tahu seberapa kecil kekuatan badai tersebut bisa menghancurkan kita”
Dia Makin Dekat
Mungkin bisa di bilang sujudku semakin sering dilakukan. Itu sudah wajar bagi mereka yang sudah mendekati masa-masa kritis. Seperti halnya saat menjelang UAN, para siswa kelas XII pun turut meramaikan mushola sekolah.
Apa yang akan saya ceritakan adalah hal yang paling menentukan. Sesuatu yang abstrak namun saya percayai memberikan sebuah kekuatan besar. Entah bagaimana saya mengatakannya, saya telah membuka komunikasi yang lebar dengan Allah SWT, dengan Tuhan saya dan Anda. Doa saya selalu saya sertakan dengan usaha kerja keras. Saya berusaha untuk tidak sombong dengan hanya melakukan usaha. Saya berpikir saya bisa mati saat itu juga bila Dia menghendaki.
Ini adalah kisah yang saya alami. Suatu hari di mana masih dalam masa persiapan SPMB saya didatangi oleh seseorang berjubah serba putih. Masih sangat asing bagi saya untuk bisa menerima dia. Dia pun tahu akan hal itu sehingga sulit untuk dikatakan memaksa namun bisa dibilang mendesak mendekati saya. Dia memberi salam dan mengenalkan dirinya.
Dia kemudian mengajak saya untuk menuju mushola guna mendengarkan beberapa ceramah dan acara yang diadakan kelompoknya. Dia menyuruh saya mengajak dia memasuki kamar saya dan menunggu untuk bergegas ke mushola setempat. Sesampai di mushola, saya hanya melihat tiga orang pemuda dihadapan banyak orang berjubah putih, sudah termasuk teman saya.
Baru saya sadari dari cerita dan perkenalan mereka bahwa mereka adalah para ulama yang berpendidikan sangat baik. Diantaranya adalah seorang calon doktor, dosen STAN, dan ulama lainya. Mereka adalah golongan musyafir yang menyebarkan Islam di beberapa daerah, termasuk Jawa, Kalimantan, dan Cina. Dalam sebuah perkumpulan sederhana saya terus ingat perkataan salah seorang ulama. Dia mengatakan bahwa pertemuan anda dengan para ulama disini adalah sebuah jodoh yang sudah diatur oleh ALLAH SWT. Bukan sebuah kebetulan.
Semua yang saya ceritakan diatas hanyalah tambahan spiritual. Warna-warni dalam diri insan manusia yang mengakui akan adanya Tuhannya.
Bimbang II
Kesalahan Besar
Saya tidak menyangka sebelumnya bahwa ini akan saya hadapi. Kebodohan yang saya miliki patut mendapatkan hukuman. Keterpaksaan adalah satu-satunya jalan keluar. Ini pula yang menyadarkan saya bahwa takdir saya adalah disini, di Universitas Indonesia.
Saya tahu dan anda pun pasti sudah tahu bahwa syarat pemilihan sebuah jurusan dalam tes SPMB adalah minimal salah satu pilihan Perguruan Tinggi harus berada di lokasi di mana tempat tes diadakan. Sementara saya sudah mengantongi formulir sebagai peserta SPMB Jakarta, sepaket kertas yang dihargai Rp150.000,00, formulir yang sangat berharga bagi mereka yang hendak mengikuti SPMB.
Sulit bagi saya kala itu untuk mencari jalan keluar sementara saya sudah bertekad tidak akan berkuliah di peguruan tinggi negeri di wilayah Jakarta, apalagi di kampus biru, kampus UI. Saya jelaskan masalah rumit yang saya hadapi : hal yang mendasar saya harus menentukan pilihan jurusan, yaitu dengan dua pendekatan menurut saya. Pendekatan pertama, saya memilih berdasarkan pertimbangan kemampuan yang saya miliki atau saya memilih berdasarkan pertimbangan mana yang saya sukai. Akhirnya pilihan jurusan sudah saya tentukan, yaitu Manajemen.
Beberapa cara yang harus saya tempuh adalah sesegera mungkin kembali ke Tegal dan membeli formulir untuk lokasi Semarang, membeli lagi formulir di Jakarta untuk kategori IPC dengan tiga pilihan, atau tetap menjalankan SPMB dengan formulir yang sudah saya beli dengan mengorbankan salah satu pilihan atau hanya sebagai syarat ikut SPMB. Saya memiliki jatah dua pilihan berdasarkan formulir, sehingga idealnya minimal satu atau kedua pilihan adalah manajemen di Undip,atau Unsoed, ataukah di UNNES (sesuai rencana awal).
Waktu untuk pulang ke Tegal untuk membeli formulir di Semarang sangat tidak mungkin sebab satu atau dua hari SPMB akan segera dimulai. Saya juga butuh waktu untuk survey tempat, mengkondisikan diri, dan sebagainya. Sisa uang yang saya miliki pun tidak memungkinkan untuk membeli formulir kategori IPC dengan tiga jatah pilihan. Dengan formulir IPC tersebut saya berharap ada dua prioritas pilihan PTN di Jawa Tengah dan sisa satu pilihan jurusan IPA yang akan saya jadikan hanya sebagai syarat pelengkap saja. Itu semua sulit, kecuali satu hal : tetap dengan formulir yang ada dengan ikut SPMB di Jakarta
Saya Akan Lepas UI
Dengan pilihan jurusan formalitas di UI (yang mungkin paling pantas). Akhirnya tanpa sepengetahuan orang tua saya, saya pilih jurusan pertama Manajemen UI. Saya tentukan demikian agar manajemen UI dengan grade yang tinggi tidak akan tercapai dan hanya ada satu harapan di pilihan kedua, yaitu Manajemen Undip.
Ujian sudah usai, pengumuman hasil SPMB pun sudah ada. Saya sudah terdaftar sebagai calon mahasiswa di Perguruan Tinggi yang paling tidak saya suka, Universitas Indonesia. Perguruan yang terpaksa saya pilih dengan harapan besar saya tidak akan diterima atau saya tidak akan kuliah untuk selamanya.
Benar juga dugaan saya. Memang saya diterima di Universitas Indonesia. Sungguh hal yang mengecewakan namun mengharukan. Sangat sedih saya mengetahui hasil tersebut. Dunia seakan sudah tertutup dan tidak menerima saya lagi. Rencana besar saya gagal. Sesuai dengan dugaan saya, saya tidak di terima oleh kedua orang tua saya akan keputusan saya dalam menentukan UI sebagai salah satu pilihan SPMB. Dengan mentah-mentah dan tanpa berpikir panjang lagi saya dinyatakan “TIDAK PERLU KULIAH” oleh orang tua saya. Saya harus melepas kesempatan besar ini dan menunggu kesempatan di tahun depan di mana saya sudah bertambah usia.
Bahasa apa yang akan saya gunakan seakan belum cukup untuk memberikan pemahaman bahwa terjadi konflik batin yang sangat dalam diri saya. Rasanya saya ingin lepas menghilang dari keluarga saya. Pergi jauh dari hadapan keluarga. Usaha keras saya untuk mendapatkan prestasi yang membanggakan tidak dihargai mereka. Ucapan selamat memang terus berdatangan dari kalangan teman sekolah. Namun bukan itu yang saya dambakan. Di samping sisi saya menerima dengan sangat berat bahwa saya akan LEPAS UI.
Saya memahami kesedihan dan kebimbangan kedua orang tua saya. Mereka tidak akan mampu membimbing saya dalam pendidikan di perguruan tinggi sebesar Universitas Indonesia. Apabila saya melawan dan tetap memaksa untuk menerima hasil SPMB, maka pikir saya adalah saya sebagai seorang anak yang tidak bisa mengerti penderitaan dan tanggungan orang tua.
Benar-benar hampir seluruh pikiran saya terkuras untuk memikirkan itu. Seluruh tubuh saya terasa mati, menangis, tidak berdaya untuk menghadapi kenyataan. Tidak ada yang mampu memahami perasaan saya, begitu juga anda. Sampai saya terpikir mungkin dalam keadaan demikian saya akan terjatuh di jalan dan terilindas truk besar. Saya menjerit, tidak ada yang mendengar. Teriakan saya berupa tangisan. Air mata lah yang keluar bukan sebuah teriakan yang mampu didengar orang. Saya palingkan muka saya ketika orang lain dengan senyumannya mengucapkan kegembiraan atas keberhasilan seoran kawan.
Terlepas dari memikirkan berapa belas juta yang harus saya bawa untuk mendaftar ulang di Universitas Indonesia, saya berusaha menenangkan diri, mengasingkan sejenak mengharapkan kekuatan sang pencipta, sang pemberi bencana ini akan memberikan keajaiban berupa jalan keluar. Suatu malam, di mana siang harinya adalah satu-satunya kesempatan untuk mendaftar ulang bagi mereka yang diterima di Universitas Indonesia, saya mendatangi seorang kawan.
Seseorang yang mungkin bisa menghibur saya, seseorang yang mampu membendung tangisan saya, dan seseorang yang mau mendengar apa yang sedang saya risaukan. Namun, saya datang pada saat yang tidak tepat. “Dia tidak ada dirumah, barusan diajak beberapa teman-temanya ke salah satu teman di Suradadi” Itulah yang terucap dari pemilik rumah. Lemas tubuh saya dan saya berpikir betapa kejam perlakuan dunia pada saya. Saya pulang dan benar-benar saya berpikir mungkin saya akan terjatuh di jalan dengan tubuh yang lemas ini selanjutnya orang lain baru bisa memahami apa yang saya rasakan dan menangisi semua ini. Pupus sudah harapan saya untuk melanjutkan kuliah. Mereka yang bisa diterima di perguruan swasta dan negeri yang tak sebesar UI dapat merasakan kebahagiaan.
Sesampai di rumah saya menghadapi peristiwa yang sudah pernah terjadi tiga bulan silam. Sekali lagi saya akan mengingatkan kepada anda “Kawan akan memberikan apa yang tidak saya miliki”. Kedua orang tua saya sudah bersiap menyambut saya. Terlihat di mukanya memendam hasrat untuk mengatakan sesuatu yang akan merubah dunia yang gelap ini menjadi terang. Beliau menyesali saya pergi selama seharian dan menegaskan lagi bahwa saya besok pagi harus berangkat ke Jakarta sesegera mungkin untuk mengikuti pendaftaran ulang. Beliau katakan dengan pandangan yang penuh kesedihan, pandangan dari orang tua yang seakan merasa tidak mampu untuk memberikan kebahagiaan kepada anaknya, dan pandangan dari seseorang yang seakan telah melakukan kesalahan yang besar.
“Apa yang sedang terjadi???” Tidak lebih dari satu jam yang lalu beberapa teman sekolah, teman yang saya datangi tempat tinggalnya beberapa saat yang lalu, didampingi kawan-kawan mahasiswa UI yang tergabung dalam Sintesa mendatangi keluarga saya. Mereka berharap dapat bertemu saya dan mendengarkan serta membujuk akan apa yang sudah saya perbuat. Sekali lagi melalui orang lain, orang tua saya dapat luluh hatinya dan memahami keadaan yang sebenarnya. “Allahuakbar”, keajaiban-Mu datang, Engkau mau mendengar apa yang saya harapkan. Sangat diluar dari apa yang saya pikirkan.
Cinta Yang Dulu adalah Benci
Hari pendaftaran sudah lewat dan saya bergegas menuju Jakarta sendirian untuk yang pertama kali. Saya ke Jakarta dengan membawa Rp250.000,00 untuk bertahan selama sebulan dari uang minimal sebanyak Rp12.0000.0000,00 yang harus saya penuhi saat itu juga. Saya hanya memiliki satu alamat yang bisa saya harapkan, yaitu sekretariat Sintesa. Saya tidak ingat pasti alamat yang akan saya tuju tersebut. Saya berharap masih dapat diterima oleh pihak UI di hari yang sudah lewat dan saya tidak ingin mendengarkan pertanyaan dari panitia pendaftaran tentang apa yang sudah saya alami sebab terlalu pedih bagi dia untuk mendengarnya.
Alhamdulillah, ringan jalan saya selanjutnya. Mereka masih dapat menerima saya untuk kuliah di Universitas Indonesia. Tidak ada hambatan besar yang berarti terkait finansial. UI memahami kondisi saya apa adanya. Saya malu pada diri saya terkait pandangan saya tentang UI dulu. UI yang saya dulu saya benci, UI yang saya anggap penampung mereka yang bermewah-mewahan dan UI yang mengharapkan pemasukan dari mahasiswanya adalah salah besar. Apabila ada seseorang bertanya kepada saya tentang kampus ini maka saya akan jawab dengan tidak ada keraguan sedikitpun bahwa ini adalah Universitas Terbaik di Indonesia, kampus yang memahami adanya penderitaan di pedalaman dan kalangan bawah dan kampus yang memahami perbedaan di Indonesia.

Depok, 29 November 2008
Pukul 22.08 WIB
Rakhmat Lukmeidi
S1 Fakultas Ekonomi / Manajemen 2006
http://lukmeidi.wordpress.com

KISAH MARJUQI - ILMU KOMPUTER UI

”Golok Yang Diasah”
Marjuqi Rahmat (Ilmu Komputer 2006)
Perkenalkan, saya Marjuqi Rahmat, temen-temenku biasa memanggilku Juki. Sekarang ini saya sedang menempuh studi di Ilmu Komputer Universitas Indonesia angkatan 2006. Saya lulus dari SMAN 1 Slawi tahun 2006. Kayak temen-temen SINTESA lainnya, pada tulisan ini saya juga ingin berbagi pengalaman perjuangan saya “Menembus gerbang Universitas Indonesia” kepada kamu semua, adik-adikku siswa-siswi kelas XII SMA di Tegal.
Saya yakin dengan membaca tulisan ini wawasanmu bakal bertambah mengenai liku-liku perjuangan masuk perguruan tinggi favorit, bahwa ternyata masuk perguruan tinggi favorit itu gak sesulit yang kamu bayangkan tapi juga gak segampang yang kamu harapkan. So, saya harap dengan tulisan ini kamu bakal termotivasi dan memiliki semangat membara buat berjuang lebih keras meraih masa depan cerahmu di perguruan tinggi favorit.
Saya mulai saja ya ceritanya.. ;)
Kerja atau Kuliah?
Pertanyaan itu muncul ketika saya mulai duduk di kelas 3 SMA. Ya, ketika saya pusing dengan persiapan UAN yang pelaksanaannya semakin hari semakin dekat, saya juga harus memikirkan ke mana gerangan diriku setelah lulus SMA. Bagiku pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sulit buat dijawab, pertanyaan yang harus dipikirkan bener-bener karena ini menyangkut ke arah mana hidupku nantinya setelah SMA. Berikut ini langkah-langkah strategis yang kuambil untuk menjawab pertanyaan itu:
1. Konsultasi dengan orang tua. Saya lakukan langkah ini supaya ngerti apa sih keinginan orang tua saya. Ketika itu saya yakin apapun yang diinginkan orang tua saya buat saya (selagi baik) pastilah itu yang terbaik. Ketika saya ngobrol dengan orang tua tentang masa depan saya, orang tua saya (terutama ayah) ternyata membebaskan saya untuk memilih, ”Terserah koen pan kerja apa pan kuliah, tapi koen ngerti dewek bapa wis ora sanggup mbiayani koen sekolah, apa maning yen koen kepengen kuliah juk.” Tiba-tiba saya terhenyak dan terharu. Dalam hati saya berteriak, ”Bapa, aku ora bakal ngecewakna Bapa!!! aku bakal berjuang nggo menggapai cita-cita”. Karena inilah semangat saya makin membara menjadi berpuluh-puluh kali lipat untuk memperjuangkan masa depan saya !!!
2. Cari informasi tentang dunia kerja kepada keluarga/guru/tetangga/temen-temen/kakak kelas yang telah lulus SMA/kenalan yang sudah bekerja. Ya, entah pekerjaan apapun itu, saya ambil informasi dan pengalamannya untuk menambah wawasan saya. Tak lupa sesekali saya juga browsing di Internet, saya cari tahu ragam pekerjaan apa saja yang ditawarkan untuk seorang lulusan SMA, persebarannya serta persaingannya.
3. Cari informasi tentang dunia kampus dan perkuliahan. Karena saya tidak punya saudara yang bisa saya tanya-tanya tentang dunia kampus dan perkuliahan, jadilah saya termasuk ”Penghuni setia” ruang BK (Bimbingan Konseling) SMAN 1 Slawi, yang mana di situ merupakan tempat berkumpulnya semua brosur dan informasi dari berbagai perguruan tinggi, negeri maupun swasta. Yups, hampir semua informasi tentang dunia kampus saya dapatkan dari sini. Saya baca program studi-program studi perguruan tinggi, saya juga cari tahu apa sih yang dipelajari di suatu program studi. Tak lupa saya juga nanya-nanya sama beberapa kakak kelas yang melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.
Informasi-informasi di atas saya kumpulkan dan analisa. Dalam proses pencarian jawaban antara Kerja atau Kuliah ini, tak lupa saya juga berdoa pada Allah Ta’ala agar diberikan yang terbaik. Singkat cerita dengan penuh keyakinan akhirnya saya bulatkan tekad untuk kuliah, ya, melangkah berjuang menggapai perguruan tinggi. Selanjutnya, untuk sementara saya pun memutuskan untuk memilih Ilmu Komputer Universitas Indonesia sebagai Program Studi/Jurusan yang nanti saya pilih dan perjuangkan di SPMB 2006.
Pertanyaan kembali muncul dalam pikiran saya, “Apa saya bisa tembus SPMB masuk UI?”
1. Kemampuan Akademik
IQ saya pas-pas an. Saya gak ikut bimbel.
Pertanyaan itu menjadi pertanyaan mendasar bagi kesiapan akademik saya. Pada awalnya saya ragu banget, apakah bisa saya lolos SPMB masuk UI? Ketika itu saya langsung mencari tahu adakah media yang bisa menjadi latihan saya menaklukkan SPMB? Setelah nanya-nanya teman, akhirnya saya tahu bahwa ada buku untuk latihan-latihan SPMB. Saya pun memutuskan untuk segera membeli buku tersebut di toko buku terdekat. Ternyata harganya sangat murah untuk sebuah ‘media’ menggapai masa depan, yaitu kurang dari 30 ribu rupiah. Ketika itu saya juga mengumpulkan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi lainnya yang saya dapatkan dari teman-teman. Ya, saya yakin ini ampuh untuk mempertajam dan meningkatkan kecepatan saya menaklukkan soal-soal SPMB kelak.
2. Biaya Kuliah
Biaya kuliah kan mahal. Darimana saya bisa membayarnya?
Kekhawatiran akan hal ini kelak hampir membuat saya mengurungkan niat untuk melanjutkan perjuangan masuk UI. Gimana tidak, biaya uang pangkal Ilmu Komputer UI adalah 25 juta (di SMA mungkin namanya uang gedung). Dari mana duit sebanyak itu bakal saya dapat? Gila! Udah jelas-jelas orang tua juga sudah “nyerah” buat ngebiayain saya kuliah. Biaya itu belum termasuk biaya semester awal yang ketika itu 1,5 juta dan juga biaya tetek bengek lainnya.
Kalo dihitung-hitung bisa mendekati 28 juta an, huff. Namun informasi yang saya dapat dari kakak senior yang sudah kuliah di UI, dibilang bahwa ”Biaya kuliah aja nggawe koen nyerah sedurung bertanding! Angger koen yakin bisa tembus SPMB mlebu UI, Insya Allah ning UI akeh bantuan sing siap mbantu koen koq, wis akeh buktine, aku dewek termasuk sing olih keringanan biaya kuliah. Angger koen nyerah ndisit, koen ora bakal maju-maju. Koen paham maksude peribahasa: di mana ada keinginan di situ pasti ada jalan, kan??”. Karena yakin dengan ucapannya, akhirnya untuk sementara waktu saya anggap dan tenangkan diri bahwa saya tidak punya problem dengan biaya kuliah nanti.
3. Biaya Hidup
UI kan berada di Jakarta, kota besar, pasti biaya hidup di sana tinggi.
Tidak berlebihan kalau ada pikiran seperti itu. Pada kenyataannya biaya hidup di kota besar memang tinggi. Biaya makan+minum rata-rata Rp. 300.000/bulan (makan 2 kali sehari), biaya kost/kontrakan rata-rata Rp.300.000/bln (1 kamar sendiri), belum lagi biaya transportasi, biaya komunikasi (pulsa), dll. Jika dihitung-hitung biaya hidup total perbulan bisa mencapai Rp. 800.000,-.
Untuk pertanyaan/masalah ini lagi-lagi saya juga mendapat jawabannya setelah mendapat informasi dari kakak senior di UI. Dia bilang bahwa UI menyediakan banyak bantuan/beasiswa bagi mahasiswanya yang berprestasi maupun dari latar belakang ekonomi tidak mampu. Beasiswa/bantuan ini beranekaragam besaran nominalnya, ada yang 200 ribu perbulan, 500 ribu perbulan dan bahkan ada yang 1 juta perbulan. Namun dia juga berpesan bahwa bagaimanapun juga UI tetap akan selektif terhadap para penerima beasiswa/bantuan, tentu agar tidak ada beasiswa yang salah sasaran. Selain itu, saya juga mendapat informasi sekaligus motivasi dari kakak senior yang sudah di UI, dia bilang “Kalo kamu sudah di UI, Insya Allah ada aja jalan untuk menutup biaya hidup. kamu bisa nyambi kerja ngajar private matematika anak SD, SMP atau SMA, nyambi dagang, atau yang lainnya”.
Sekedar informasi, seperti sekarang ini, selain kuliah, saya sendiri juga nyambi kerja ngajar private Matematika anak SMP dan nyambi kerja menjadi Admin Website Asrama UI. Alhamdulillah penghasilan yang diperoleh sudah cukup untuk menutupi biaya hidup sehari-hari. 
PERJUANGAN MEMPERSIAPKAN DIRI
Pada akhir Agustus 2005 (saya waktu itu kelas 3 SMA), SINTESA (Satu Ikatan Tegal Bersaudara, sebuah Ikatan Mahasiswa UI dan sekitarnya yang berasal dari Tegal) mengadakan Try Out SPMB 2006 di Kota Tegal. Dengan meminjam uang dari teman, saya bayar tiket Try Out seharga Rp. 10.000,- tersebut kemudian saya mengikuti Try Out nya. Mungkin ada yang bertanya, “untuk apa masih kelas 3 semester awal tapi ngikut Try Out SPMB?” Ya, niat saya waktu itu adalah pengen melihat bagaimana sih rasanya aura persaingan di SPMB dan sekalian menjajal misalkan saya ketika itu ikut SPMB beneran, apakah saya lolos masuk UI? Usai Try Out, saya melihat nilai saya ternyata jelek sekali, jadi misalkan ketika itu SPMB beneran maka SAYA TIDAK LOLOS SPMB !!!
Selain Try Out, ternyata SINTESA juga menjual buku berjudul “3 Kunci SPMB”. Buku itu ngebahas tuntas berikut solusi berbagai problem yang dihadapi anak-anak SMA ketika ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Yups, lagi-lagi karena kepengen ngirit duit yang memang sudah cekak, saya fotocopy tuh buku, lalu saya pelajari benar-benar.
Ok, setelah semua semakin mantap di hati, ditambah lagi dengan membaca buku 3 Kunci SPMB dari SINTESA + tamparan keras dari hasil Try Out SPMB saya, sekarang saatnya lah mempersiapkan diri sepenuhnya untuk bertempur di medan laga SPMB kelak. Saya mulai niat bersungguh-sungguh akan menyiapkan diri. Saya yakin bahwa “Practice Makes Perfect” maka hampir tiap hari saya selalu meluangkan waktu 2-3 jam untuk mengerjakan soal-soal SPMB dari buku yang udah saya beli dan beberapa fotokopian soal-soal ujian masuk perguruan tinggi lainnya.
Berhubung saya juga suka musik, ketika saya belajar, saya selalu mendengarkan radio untuk menemani saya belajar, yang kadang sampai larut malam. Hingga pernah ibuku menegurku, “Juki, kari bengi ora lunga-lunga buku-radio buku-radio” (Juki, kalau malam gak jauh-jauh dari buku dan radio-red). Rutinitas ini kulakukan terus-menerus selama semester pertama kelas 3 SMA. Asah, asah dan asah terus ketajaman menaklukkan soal-soal SPMB!
Awal semester 2 kelas 3 SMA, saya mendapat informasi dari BK (Bimbingan Konseling) SMAN 1 Slawi bahwa Panitia SPMB Pusat mengadakan Program Beasiswa bernama Beasiswa BMU (Beasiswa Mengikuti Ujian). Beasiswa ini diperuntukkan bagi siswa SMA dengan prestasi akademik baik serta berasal dari keluarga berkemampuan ekonomi tidak tinggi. Beasiswa ini menggratiskan penerimanya untuk mengikuti SPMB 2006, memberi uang saku (ketika itu Rp.100.000,-) dan misal si penerima nanti lolos SPMB 2006 maka Panitia SPMB akan menanggung biaya kuliah beserta biaya hidupnya (ketika itu tunjangan biaya hidup sebesar Rp. 150.000,-/bulan) selama 1 tahun pertama.
Awalnya saya sudah pesimis dahulu untuk mencoba BMU gara-gara nilai B. Inggris saya pernah kurang dari 7 ketika kelas 1 SMA (ini tidak memenuhi syarat yang diminta oleh Panitia Pusat SPMB tersebut). Alhasil waktu itu saya bener-bener tidak kepikiran untuk mencoba mengajukan BMU. Namun Allah SWT memang sudah mengatur segalanya. Waktu itu tanpa sepengetahuan saya, ada temen sekelas saya, Dina Ayu, yang merekomendasikan saya ke guru BK untuk diperjuangkan agar mendapatkan BMU.
Saya pun dipanggil guru BK, Bu Ratmi. Saya ungkapkan alasan kenapa saya tidak mencoba mengajukan beasiswa ini, Bu Ratmi pun mengerti. Namun Bu Ratmi mengatakan kepadaku bahwa beliau yakin mungkin saja ada faktor X yang bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Saya paham maksud beliau. Tapi tetap, sebenarnya saya masih kurang yakin, namun saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah kamu tidak mau berusaha juk?? Setelah perdebatan batin sendiri, akhirnya saya putuskan untuk mencoba mengajukan beasiswa ini. Keesokan harinya saya melengkapi form dan berkas yang diminta dalam pengajuan BMU tersebut. Berkas Beasiswa ini nantinya dikirimkan oleh BK ke Panitia Pusat Jakarta dan Panitia SPMB Pusat lah yang akan menyeleksinya.
Ok, kembali lagi ke rutinitas saya sehari-hari. Setiap harinya setelah Maghrib saya mengajar ngaji anak-anak kecil di Masjid dekat rumah saya. Niat saya ketika itu adalah menyebarkan ilmu yang saya punya sambil mencari Ridho Allah SWT serta berharap kebajikan tersebut bisa menjadi perantaraan turunnya RahmatNya dan dikabulkannya cita-cita saya. Sehabis Isya hingga larut malam biasa saya gunakan untuk latihan mengerjakan soal-soal SPMB + soal-soal UAN. Dan biasa, bersama radio yang menemani dan terkadang dengan segelas kopi.
Singkat cerita, kurang lebih sebulan sebelum UAN, saya mendapat kabar dari BK SMANSAWI (bu Ratmi) mengenai BMU. Saya pun dipanggil ke ruang BK. Awalnya beliau bertanya kepada saya beberapa hal, mengenai impian saya, tekad saya, dll. Akhirnya, perlahan beliau menyampaikan kepada saya bahwa beliau telah menerima surat keputusan dari Panitia Pusat SPMB dan disitu dinyatakan bahwa saya lolos menjadi salah satu penerima Beasiswa BMU. Alhamdulillaahiraabil ’Alamiin…Haru dan syukur pun tak sanggup kubendung lagi. Sambil membaca surat keputusan dari Panitia Pusat SPMB tersebut, hampir saja saya menangis di depan bu Ratmi. Ya Allah, rahmatMu memang tiada batasnya..
Setelah mendapatkan kabar baik tersebut, semangat saya menjadi semakin berapi-api. Saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Dalam hati kuberkata, ”Hei Juk, kamu sudah mendapat jaminan biaya kuliah dengan BMU, selangkah lagi kamu bisa masuk UI. Namun ingat, itu tak akan pernah terjadi jika kamu tidak lolos SPMB”. Yups, dengan kata lain, SAYA TIDAK BOLEH TIDAK LOLOS SPMB 2006 !!! Untuk itu SAYA TIDAK BOLEH TIDAK SIAP UNTUK SPMB 2006 !!!
Saya yakin teman-teman tahu maksudnya. Alhasil saya terus meng-gembleng diri agar siap sepenuhnya menghadapi SPMB 2006, terus, terus dan terus. Tak lupa saya juga mempersiapkan diri menghadapi UAN, hingga akhirnya saya dinyatakan lulus SMA pada Tengah Juni 2006. Singkat cerita sambil mengurus administrasi kelulusan SMA, seminggu 2 kali selama 2 minggu saya mengajar Ngaji Private di Slawi Wetan. Penghasilan yang di dapat cukup untuk biaya saya berangkat ke Jakarta. Alhamdulillah saya bisa sedikit meringkankan beban orang tua saya.
Setelah benar-benar resmi lulus dari SMA, saya segera berangkat ke Jakarta. Ayahku kebetulan mencari nafkah di Jakarta dan mengontrak bersama teman-temannya sehingga saya ikut beliau selama menunggu ”detik-detik” pelaksanaan SPMB hingga kelak menunggu pengumumannya (Awal Agustus 2006). SPMB 2006 sendiri dilaksanakan awal Juli 2006 dan kebetulan saya mendapatkan lokasi seleksi di dekat RSCM Cipto Mangunkusumo, dekat kampus Salemba UI, Jakarta Pusat. Seminggu sebelumnya saya mendaftar ulang ke Panitia Pusat SPMB di dekat kampus Salemba UI terkait diterimanya saya pada Program Beasiswa BMU.
Ini Time-Line Hal-Hal yang saya lakukan selama kelas 3 SMA.
Bulan Hal-Hal Yang Saya Lakukan
Juli-Agustus 2005 1. Mencari Informasi terkait Dunia Kerja dan Kuliah
2. Konsultasi dengan Orang Tua, guru BK
3. Ikut Try Out SPMB yang dilaksanakan oleh SINTESA
4. Latihan..Latihan dan Latihan (Soal-soal UAN)…
5. Memutuskan untuk Kuliah dan bukan langsung Kerja
Sept-Okt 2005 1. Membeli buku Latihan SPMB, pelajari dan kerjakan !
2. Memfotocopy buku 3 KUNCI SPMB, pelajari !
3. Latihan..Latihan dan Latihan (Soal-soal UAN)…
4. Latihan..Latihan dan Latihan (Soal-soal SPMB)…
Nop-Des 2005 1. Konsultasi dengan senior SINTESA
2. Latihan..Latihan dan Latihan (Soal-soal UAN)…
3. Latihan..Latihan dan Latihan (Soal-soal SPMB)…
Jan-Feb 2006 1. Mengajukan BMU
2. Latihan..Latihan dan Latihan (Soal-soal UAN)…
3. Latihan..Latihan dan Latihan (Soal-soal SPMB)…
Mar-Apr 2006 1. Latihan..Latihan dan Latihan (Soal-soal UAN)…
2. Latihan..Latihan dan Latihan (Soal-soal SPMB)…
Mei-Juni 2006 1. Ngajar Private Ngaji
2. Latihan..Latihan dan Latihan (Soal-soal SPMB)…
Hari yang dinantikan itu pun datang, hari pelaksanaan SPMB 2006, awal Juli 2006. Saya diantarkan Mbah Tasrif menggunakan Bajay menuju tempat ujian, SMA/SMK PSKD Jakarta Pusat. Sesampainya di depan ruang ujian, saya berdoa terlebih dahulu, meminta cahaya pikiran dan hati kepada Sang Maha Bercahaya, agar dengannya dijernihkan pikiran saya. Saya pun masuk ke ruang ujian. Soal Ujian dibagikan. Saya mulai mengerjakan. Satu soal tertaklukkan, 2 soal, 3 soal. Beberapa kali saya sempat mengusap dahi karena keluar keringat dingin, grogi.
Ya, ketepatan dan kecepatan mengerjakan soal diadu di sini. Buat apa mengerjakan cepat namun salah? Akan tetapi ”tergilaslah” yang mengerjakan tepat namun lambat. Secara keseluruhan saya berhasil mengerjakan soal-soal SPMB (yang dilaksanakan dalam 2 hari tersebut) dengan lancar, meski tidak semuanya bisa saya kerjakan.
Singkat cerita, akhirnya pelaksanaan SPMB 2006 sudah selesai. Sekarang tinggal menunggu pengumuman hasilnya yang akan dilakukan lewat Internet dan Media cetak/Koran pada tanggal 5 Agustus 2006. Selama masa penantian pengumuman, tinggal bersama orang tua dikontrakannya, saya isi dengan puasa-puasa Sunnah, Senin Kamis.
Hari berganti hari, Minggu berganti Minggu, hari pengumuman SPMB 2006 tersebut pun akhirnya datang juga. Waktu itu saya masih ikut ayah tinggal dikontrakannya, di Jakarta. Pagi-pagi habis Shalat Shubuh, perasaan saya mendadak menjadi tidak karuan, tidak tenang menunggu penjaja koran yang datang. Ya, saya berniat melihat pengumumannya dari koran saja. Karena hati ini tidak juga tenang, akhirnya saya ambil air wudhu dan Shalat Sunnah beberapa kali (Alhamdulillah suasana kontrakan pagi itu sepi, semua orang sudah berangkat bekerja termasuk ayah saya).
Dalam doa saya minta kepada Allah SWT untuk diberikan yang terbaik, ”Ya Allah Gusti Pangeran, aja sampe aku diterima ning UI angger UI dudu sing terbaik nggo aku..” Doa itu sebenernya selalu saya panjatkan, namun kali ini bener-bener kerasa getarannya..Ya, hari itu, tanggal 5 Agustus 2006, adalah hari di mana kehidupan saya yang baru akan dimulai, apapun itu.
Beberapa saat kemudian penjaja koran pun datang. Kubeli koran Warta Kota, namun saya tidak berani untuk langsung membacanya, dalam hati saya berkata, “Ini menit-menit yang menentukan..Ya Allah, kuatkan hati hamba..”. Saya ambil air wudhu lagi dan Shalat Sunnah 2 rokaat untuk berdoa dan berserah diri pada Sang Penentu, Allah Ta’ala. Setelah Shalat Sunnah, saya buka perlahan lembar demi lembar halaman pengumumannya, saya cari nama saya “MARJUQI RAHMAT”, jantungku berdetak kencang tak terkira.
Lembar pertama tidak kutemukan namaku. Jantungku berdetak makin tak karuan. Lembar kedua juga tak kutemukan. Jantungku makin berdegup kencang. Beberapa kali kulihat nama-nama teman se-SMA tertera di situ, itu artinya mereka lolos SPMB. Tapi apakah namaku akan ada di situ?? Kubuka lembar berikutnya.
Saya tak ingat persisnya di lembar ke berapa, akhirnya kutemukan namaku ”MARJUQI RAHMAT diterima di 221644 (Ilmu Komputer UI)”. Seketika itu saya sujud tersungkur di sajadah yang masih kududuki, sambil menangis sejadi-jadinya saya ucapkan berkali-kali ”ALHAMDULILLAHIRABBIL ’ALAMIN…” Dengan suara yang parau karena menahan suara tangis yang jika tidak ditahan maka akan membuat geger tetangga kontrakan. ”Ya Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang..Engkau telah menepati janjiMu..”. Langsung kukabarkan berita bahagia ini kepada ayah dan keluarga dikampung.
Haru dan bahagia bergolak menjadi bara api semangat dalam diriku untuk berjuang di Universitas Indonesia.
“Jika aku diberikan waktu 10 jam untuk menebang sebuah pohon besar dengan sebuah golok yang tidak tajam, maka akan kugunakan 8 jam untuk mempertajam golok tersebut”
(Sir Marjuqi Rahmat)