Selasa, 10 Juli 2012

DI UI KUTEMUKAN MIMPIKU - AKHDA AFIF ILMU KOMPUTER UI

“Di UI Kutemukan Mimpiku”
Akhda Afif Rasyidi (Ilmu Komputer 2004)
Saya bersyukur atas karunia yang diberikan Allah SWT berupa kelebihan untuk cepat dan banyak menyerap berbagai ilmu baru. Tidak hanya untuk tujuan akademis tetapi juga dalam berbagai hal lainnya seperti dalam olahraga, organisasi, bahkan dalam hidup itu sendiri. Oleh karena itulah, perjalanan akademis dari SD hingga SMA, Alhamdulillah dijalani dengan baik. Bahkan menurut beberapa orang, malah termasuk istimewa.
Peringkat satu kelas ketika SD sudah jadi langganan. Dari kelas 1 hingga 6 hanya sempat satu caturwulan peringkat tersebut menjadi milik teman saya. Demikian pula di SMP. Meskipun persaingannya lebih ketat, hanya di kelas 1 saya tidak menempati peringkat pertama. Selebihnya, dengan izin Allah SWT, peringkat pertama kelas tidak pernah lepas dari tangan. Beranjak ke SMA, kebiasaan tersebut tidaklah berubah. Allah masih mengizinkan saya meraih prestasi tersebut. Bahkan dari kelas 1 hingga 3 IPA, saya selalu jadi juara kelas. Namun, untuk menjadi juara paralel, saya hanya sempat mengecapnya beberapa kali.
Prolog tersebut tidak untuk “gagah-gagahan”. Prolog tersebut saya tulis untuk memberikan gambaran bahwa perjuangan saya mungkin berbeda dengan cerita-cerita lain di buku ini yang memunculkan heroisme belajar keras, perjuangan tak kenal lelah, atau memori mengesankan lainnya. Mengingat kekurangan itulah, kemudian saya tertarik untuk menuliskan sisi lain perjuangan ketika saya masuk kampus ini dan hidup di dalamnya.
Cita-cita berkuliah mulai muncul sejak akhir kelas 1 SMA menjelang kenaikan ke kelas 2. Sama seperti teman sebaya lainnya, saat itu masih bingung dan belum menentukan pilihan pasti akan ke mana saya setelah lulus dari sekolah ini. Yang sempat tercetus saat itu adalah obsesi kuat untuk menjadi ahli nuklir.
Saya ingin membangun teknologi nuklir di Indonesia. Nuklir yang tidak bertujuan untuk kepentingan militer, tapi untuk manfaat lainnya seperti untuk sumber listrik. Maka, untuk mewujudkan impian itu, saya harus masuk ke jurusan nuklir. Setelah mencari dari berbagai sumber, ternyata hanya ada satu jurusan nuklir di Indonesia. Jurusan teknik nuklir di UGM.
Saat menceritakan obsesi saya ini kepada teman-teman di sekolah, reaksi awal yang mereka berikan adalah keheranan dan menertawakan. Mungkin karena baru kali ini ada anak yang obsesif untuk masuk ke jurusan teknik nuklir. Jurusan yang, mungkin, tidak populer dan bergengsi. Bidang ilmu yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Bahkan, beberapa teman mengingatkan tentang tingginya risiko radiasi seperti kemandulan hingga kematian.
Mungkin karena sudah terlalu obsesifnya, resiko dan berbagai cibiran itu tidak saya hiraukan. Bagi saya, belajar bukanlah karena popularitas, gengsi, dan sebagainya. Belajar itu dilandasi oleh minat dan cita-cita. Percuma saja kita masuk ke jurusan yang keren atau apapunlah namanya, tetapi tidak merasa nyaman di dalamnya karena tidak sesuai dengan minat kita. Masa depan dan segala risiko itu bagi saya adalah konsekuensi. Intinya, saat itu saya sangat yakin bahwa nuklir adalah jalan hidup serta masa depan.
Suatu ketika orang tua sempat mengajak saya berdiskusi tentang minat kuliah pasca lulus SMA. Saat saya ceritakan tentang obsesi itu, Mereka sama terkejutnya dengan teman-teman. Lantas, dicecarilah saya dengan berbagai pertanyaan dan keberatan. Hampir sama dengan apa yang teman-teman respon.
Saat itu mereka menyarankan saya masuk ke jurusan kedokteran. Belum ada di keluarga besar orang tua yang menjadi dokter. Apalagi jika dilihat dari prestasi akademis yang saya peroleh, beliau percaya saya bisa masuk ke jurusan kedokteran di kampus favorit. Namun, obsesi saya ini sudah terlanjur menghujam. Saya jelaskan tentang mimpi saya. Saya juga menjelaskan meskipun dari nilai akademis mencukupi, tetapi untuk mata pelajaran yang terkait dengan dunia kedokteran, bukan sesuatu yang saya minati dan kuasai.
Menurut saya ini masalah yang sangat serius. Saya tidak ingin menyakiti perasaan orang tua. Akan tetapi, saya juga tidak ingin mengorbankan masa depan yang telah saya yakini. Beliau berdua memang tidak memaksa. Namun, dari binar mata dan lisan, saya yakin ada harapan besar supaya anak pertamanya ini bisa mengikuti keinginannya untuk menjadi dokter.
Saya pun memohon kepada Allah SWT supaya diberikan jalan keluar terhadap permasalahan ini. Alhamdulillah, Allah SWT membukakan salah satu jalan. Di pertengahan Januari 2004 ketika pelajaran sedang berlangsung, saya dipanggil kepala sekolah. Sekolah menawarkan kepada saya untuk menjadi peserta program bibit unggul daerah Kota Tegal di ITB. Alhamdulillah, saya segera mengiyakan. Saat itu juga saya diminta melengkapi beberapa berkas yang dibutuhkan.
Setelah berdiskusi dengan orang tua dan keluarga besar ibu tentang program ini, akhirnya saya memutuskan untuk memilih jurusan Teknik Informatika. Pilihan ini mempertimbangkan bahwa tidak ada jurusan kedokteran dan teknik nuklir di ITB. Maka, dipilihlah jurusan “Jalan tengah”. Jurusan yang mampu mengakomodasi kepentingan saya serta ibu dan Bapak. Jurusan ini dipilih juga karena saran dari pihak keluarga besar yang memberikan informasi bahwa dunia IT akan sangat prospektif pada masa-masa mendatang. Apalagi berdasarkan beberapa informasi, Teknik Informatika merupakan jurusan yang paling bergengsi karena grade-nya paling tinggi. Baik di ITB, maupun di kampus se-Indonesia.
Namun, kegembiraan tersebut tidak bertahan lama. Selang beberapa minggu pihak sekolah memberikan informasi bahwa pemerintah Kota Tegal membatalkan program tersebut. DPRD menolak untuk memasukkan ke dalam anggaran karena terlalu besar anggaran yang dikeluarkan. Apalagi hanya digunakan untuk satu orang. Mungkin Allah punya jalan lain yang jauh lebih baik, batin saya saat itu.
Sekitar awal Maret 2008, seorang teman memberitahukan bahwa ada formulir PPKB dari UI. PPKB adalah Program Prestasi dan Pemerataan Kesempatan Belajar. Di kampus lain lebih lazim dikenal dengan nama PMDK. Mudah-mudahan ini jawaban doa dari Allah, harap saya. Ketika mengisi formulir itu, kembali saya diskusikan dengan keluarga. Saya menjelaskan kembali bahwa saya tidak berminat masuk ke kedokteran, meskipun nilai saya memenuhi. Saya juga bertanya kepada teman-teman dan beberapa kakak kelas yang ada di UI.
Dari sekian banyak informasi dan pertimbangan, di hari terakhir batas waktu penyerahan saya menuliskan pilihan jurusan Ilmu Komputer (Ilkom). Alasannya serupa dengan ketika memilih Teknik Informatika di ITB dulu, “Jalan tengah”, prospek masa depan, ditambah dengan kompetensi saya di pelajaran Matematika yang kata kakak kelas sesuai dengan apa yang akan dipelajari di Ilkom.
Namun, saya tidak terlalu berharap diterima di UI melalui jalur PPKB ini. Saya sadar diri. Prestasi saya di luar sekolah sangat minim. Apalagi saya harus bersaing dengan puluhan atau mungkin ratusan siswa lain yang jauh lebih berprestasi. Dari sisi historis pun tidak mendukung. Terakhir lolos lewat PPKB UI pada tahun 2000 atas nama Taryono Purba. Oleh karena itulah, ketika ada UM UGM saya memberanikan diri untuk mengikutinya. Tujuannya tentu saja Teknik Nuklir-nya. Berbekal semangat tinggi namun dengan persiapan seadanya, saya mengikuti ujian tersebut.
Menjelang berakhirnya UAS, datang tawaran dari teman untuk mempersiapkan SPMB di Jakarta. Dia sudah mendaftar ke bimbingan belajar Nurul Fikri (NF) di dekat kampus UI. Ajakan tersebut saya sampaikan kepada orang tua. Mereka mendukung. Saat itu memang status saya belum jelas. UM UGM belum pengumuman. PPKB UI pun tak ada kabar. Jadi, memang tidak ada salahnya jika saya mengkuti persiapan SPMB di Jakarta. Bagi saya, ini juga sekaligus sebagai latihan sebelum benar-benar kos ketika kuliah nanti.
Pertama kali melihat kampus UI, terasa desiran yang berbeda. Kegembiraan yang, bahkan tidak saya rasakan ketika berada di UGM saat tes UM UGM. Menurut saya, ini sebuah pertanda. Mungkin di sinilah jodoh saya. Di sinilah seharusnya saya melanjutkan proses belajar pasca SMA nanti. Bukan di tempat yang lain.
Karena itulah, saya benar-benar serius belajar di NF. Nilai nasional tryout pertama sekitar 705 masih belum aman untuk masuk ke Ilkom UI. Alhamdulillah tryout berikutnya, nilai saya menembus angka 907 dan 810. Nilai yang lebih dari cukup untuk menembus Ilkom UI saat itu.
Namun, keceriaan hati itu segera tergantikan oleh kebingungan. Ketika hasil UM UGM diumumkan, ternyata saya diterima di Teknik Nuklir, jurusan yang begitu saya idam-idamkan. Orang tua meminta saya untuk mengambilnya. Paling tidak sebagai sikap jaga-jaga andaikan PPKB maupun SPMB nanti tidak tembus.
Setelah saya memikirkan lebih matang, saya berpendapat untuk tidak mengambilnya. Selain karena faktor biaya yang cukup mahal, jauh di dalam hati saya terhujam keyakinan kuat bahwa saya harus dan pasti bisa masuk UI. Orang tua sempat keberatan dengan pilihan tersebut. Mereka khawatir saya gagal masuk UI. Namun, saya tetap bersikukuh sambil menjelaskan tentang hasil tryout yang sudah berada di posisi aman untuk bisa masuk UI. Akhirmya orang tua pun setuju dengan argumentasi saya.
Hingga pada suatu waktu selepas shalat Jumat di Depok, saya menerima SMS dari Bapak untuk segera menelepon rumah. Ada berita penting, kata beliau di SMS itu. Segera saya menghampiri wartel terdekat untuk menelepon rumah. Ternyata orang tua menerima surat pemberitahuan dari UI bahwa saya diterima di Ilkom lewat jalur PPKB. Saya bersyukur sekali saat itu. Luar biasa benar karunia Allah ini. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, hampir sangat tipis harapan untuk masuk. Namun, kuasa Allah benar-benar tidak terduga.
Tahun 2004 adalah awal adanya uang pangkal (admission fee) di UI. Untuk Ilkom dikenakan biaya sebesar 25 juta. Orang tua sempat khawatir dan meminta saya untuk tidak perlu mengambil UI. Namun, saya menyampaikan bahwa UI akan memberikan keringanan bahkan pembebasan jika kita tidak mampu membayar sebanyak biaya yang ditetapkan. Di surat pemberitahuan juga dicantumkan mengenai pemberitahuan tersebut. Dari senior-senior yang ada di UI juga menenangkan supaya jangan khawatir dengan biaya. UI akan membantu dengan keringanan dan penawaran beasiswa yang jumlahnya cukup banyak.
Alhamdulillah, proses pengajuan keringanan saat daftar ulang sangatlah mudah. Dengan bekal syarat administrasi yang harus dipenuhi dan wawancara singkat, saya hanya dikenakan admission fee sebesar 7,5 juta rupiah dan dicicil selama lima semester. Bapak tidak keberatan dengan jumlahnya. Apalagi pihak Fakultas juga memberikan keterangan bahwa sistem yang digunakan adalah subsidi silang. Keluarga kami memang bukan keluarga kaya. Namun, saya tahu Bapak adalah orang yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan harga diri. Bagi beliau, alangkah sangat bersalahnya jika mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya. Itulah salah satu hal yang membuat saya bangga terhadapnya. Benar-benar ayah yang sangat menginspirasi.
Perjalanan panjang di UI pun dimulai. Di kampus inilah saya dapat mengeksplorasi banyak potensi yang terpendam dalam diri saya. Tidak hanya prestasi secara akademik yang mampu saya pertahankan dengan baik, tetapi juga berbagai prestasi lainnya dalam berbagai hal. Dari mulai menjadi perwakilan UI dalam lomba karya tulis di Jambi, menjadi pengurus inti beberapa organisasi di Fakultas, memperoleh beasiswa dari PPSDMS dan Indosat, terpilih menjadi Juara III Mahasiswa Berprestasi tingkat Fakultas, serta beberapa prestasi lainnya.
Belajar di kampus ini pun telah membuat banyak perubahan dalam pardigma berpikir. Semula, bagi saya hidup hanyalah untuk kesejahteraan diri dan keluarga. Namun, lingkungan di UI telah mengubah pola pikir saya bahwa hidup adalah untuk berkontribusi sebaik mungkin memperbaiki kualitas masyarakat di negeri ini.
Alhamdulillah, sekarang (November 2008) saya sedang mempersiapkan untuk melanjutkan studi master di King Abdullah University Science and Technology (KAUST), Arab Saudi. Program yang saya ambil adalah Applied Mathematics and Computational Science, mendalami kompetensi ilmu yang saya pelajari sewaktu kuliah S1.
Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman dan membangkitkan cita-cita. Bukanlah utopia untuk bisa berkuliah di UI. Bukan status sosial dan kekayaan yang membuat seseorang tidak bisa berkuliah di UI. Pembedanya hanyalah ketekunan dan semangat. Itulah yang saya lihat dari binar mata rekan-rekan saya di kampus.
Sukses tulisan ini tidak perlu diukur dengan banyaknya sanjungan melalui SMS, telepon ataupun email kepada saya. Namun, jika ada satu dua hati yang mulai tergerak dan bersungguh-sungguh berjuang masuk ke UI, saya akan mantap memohon kepada Allah, “Ya Allah, jadikanlah goresan ini sebagai pemberat timbangan kebaikanku di hari perhitungan nanti”
Ditulis dengan cinta teriring doa, tengah November 2008
Akhda Afif Rasyidi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar