Selasa, 10 Juli 2012

JALAN MENUJU UI - NOVEL ILMU HUKUM UI

“Menapak Bumi Menggapai Langit (Sebuah Persembahan)”
Novel Em Alam (Ilmu Hukum 2005)
Hari beranjak sore. Matahari sedikit demi sedikit mulai rebah ke bumi. Panas yang tadi siang sungguh terik kini berubah menjadi hangat saja. Adzan Ashar telah berkumandang setengah jam yang lalu. Sementara kaki ini masih saja khusuk bersimpuh di pe-Shalat-an sebuah rumah kuno di pinggiran desa tak terkenal, Gembong Kulon, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal. Desa yang ketika kusebut namanya orang akan bertanya lanjut, ”Gembong sih neng endi?”
Kebiasaan itu sudah kuubah agak lama sejak kurasakan capek menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama. Setiap kali orang menanyakan tentang tempat tinggalku, kujawab singkat saja: Benjaran, dan selesailah urusan tanya jawab tentang tempat tinggal coz semua orang relatif tahu Benjaran, walau pada kenyataanya tidak ada hubungan sama sekali antara Gembong dan Benjaran.
Khusuk itu masih berlanjut sampai akhirnya tak terasa bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi memberi warna berbeda pada sore itu, biru. Kupanjatkan doa pada Allah SWT:
“Wahai Allah, Engkaulah segalanya. Yang mengadakan dan meniadakan hidup ini serta mengaturnya. Tentang apakah aku bisa kuliah di UI ato tidak itu juga 100 % kehendak-Mu. Jika Engkau tak berkenan, aku ikhlas ya Allah. Aku ridho. Tapi kasihanilah keluargaku? Ibuku ……..”
Kalimat itu tak selesai terputus oleh isak. Air mata ini semakin deras mengucur. Aku tak bisa membayangkan betapa kecewanya keluargaku jika kali ini aku gagal lagi. Ya, hari ini adalah hari pengumuman SPMB. SPMB kali ini adalah SPMB keduaku. Tahun kemarin aku gagal dan kali ini, entahlah…
“Pel, jare pan maring Tegal? Cepetoh, ngko kesoren!” Suara ibu memaksaku untuk menyeka sudut-sudut mata ini. Aku berusaha sebisa mungkin menyembunyikan tangisku. Tapi bagaimanapun tenyata ketahuan juga. Mataku merah. ibuku cukup memahami keadaan itu. Beliau berkata lirih: “Sing penting dhewek wis usaha karo ndonga. Gusti Allah mesti bakal mein sing paling apik. Ora usah nangis…” Kata bijak beliau melantun sejuk memenuhi ruang-ruang dada. Membuat darah semakin kencang berdesir dan nafas semakin tak beraturan. Pada saat itu ingin sekali rasanya aku memeluk beliau dan menumpah ruahkan segala sisa air mata yang ada.
Dalam kondisi semacam itu bayangan kekecewaan keluarga tentang kegagalanku ternyata tidak bisa hilang begitu saja. Sore itu memang kurencanakan pergi ke Tegal untuk melihat pengumuman SPMB bersama teman-teman. Kuambil sepeda ontel kesayangan. Sepeda yang selalu menjadi teman kemana aku pergi. Setelah berpamitan dan memohon do’a kepada ibu aku langsung beranjak, berlalu. Ku-genjot pedalnya pelan saja. Satu-satu berirama. Santai. Mencoba menikmati suasana sore desa-desa yang kulalui. Pasangan, Langgen, lapangan Ekoproyo sampai kemudian sampai di tempat penitipan sepeda Brug abang. Ramai orang jalan-jalan sore tak mampu juga membuat hati ini ikut riang. Pertanyaannya “Apakah kali ini aku akan gagal lagi?”
Oia, sebentar. Dari tadi sepertinya kita belum kenalan. Namaku Novel Em Alam. Di rumah orang-orang biasa memanggilku ‘Nopel’. Ini adalah penyakit orang desa yang males nyebut huruf yang susah termasuk kemudian mengganti huruf ‘v’ pada namaku menjadi ‘p’. Di SMP aku dipanggil Novel. Pas masuk SMA, aku merasa bahwa kayaknya namaku kurang keren. Novel. Ah, kaya nama cewek. Akhirnya aku memutuskan untuk menggantinya dengan nama baru; Openk. Keren kan? (hehehe… ya jere dhewek mboran). Setelah lulus dari SDN Gembong 01 aku sekolah di SMP 1 Adiwerna dan kemudian melanjutkan ke SMA 1 Tegal.
OK, kita lanjutkan ceritanya. Tadi sampai mana yah? Oia, nggenjot sepeda. Tapi nanti dulu. Mungkin ada baiknya kalau sebelumnya aku cerita tentang kisah SPMB pertamaku. Sebenernya sederhana saja. Kegagalan SPMB pertama dulu lebih disebabkan modal nekatku. Berawal dari brifing kakak Sintesa UI di depan kelas. Mereka bercerita tentang enaknya kuliah di UI. Terkenal, banyak artis, fasilitas lengkap, kualitas tidak diragukan, prospektif, dan biaya terjangkau. Siapa yang tidak tergiur?
Apa lagi untuk orang seperti aku yang berasal dari keluarga sederhana. Point terakhir tentang ‘biaya yang terjangkau’ bak oase di tengah padang pasir yang tandus. Ini cerita saja, Untuk uang saku sekolahku dulu ibuku harus menjual tempe ke tetangga-tetangga setiap paginya. Uang tiga ribu sampai empat ribu yang di dapatnya langsung diberikan kepadaku yang sudah setia menunggu di depan pintu dengan keadaan rapi dan siap meluncur ke sekolah. Kebiasaan itu berlangsung tiga tahun selama aku SMA. Apalagi Bapakku sudah almarhum sejak aku kelas satu SMA. So, beliaulah yang mempunyai beban berat mengurus tetek bengek kebutuhan sekolahku dengan dibantu oleh kakak.
Aku anak ke-7 dari 8 bersaudara. Aku adalah satu-satunya dari anak ibuku yang sekolah formal sampai tingkat setinggi ini, SMA. Semua saudaraku hanya lulus SD saja. Jelas, bahwa dalam hal ini ibuku sangat ‘berharap lebih’ kepadaku dibanding pada saudaraku yang lain. Hal itulah yang kemudian menjadi pemacu semangatku. Mempersembahkan yang terbaik dengan kuliah di Universitas terbaik mungkin akan sedikit membuat beliau lupa tentang keringat yang pernah menetes. Ya, tekad itu sudah bulat. Aku harus kuliah di UI dan menjadi orang sukses. Membahagiakan beliau, membahagiakan keluarga.
Saat kelulusan tiba, jantung ini berdebar kencang. Kebijakan standar nilai untuk kelulusan baru dimulai satu tahun sebelumnya. Jadi maklum saja kalau debar jantung semacam ini dialami oleh setiap siswa kelas tiga pada saat itu. Alhamdulillah… Alhamdulillah… Ternyata aku lulus juga walau dengan nilai yang sangat pas-pasan. Standar minimal. Wajar, saat sekolah aku bukanlah siapa-siapa. Maksudnya, tidak pernah menorehkan prestasi akademis apapun. Tak pernah ranking. Sekali-kali diketahui urutan prestasi di kelas paling banter urutan 23, eh, pernah juga mencapai urutan 17 ding.
Ya sekitar situ lah. Ga jauh-jauh. Dengan modal otak yang pas-pasan tersebut aku tetap ngeyel menempatkan UI sebagai Universitas yang aku tulis sebagai pilihan di formulir SPMB-ku. Cerita selanjutnya bisa di tebak. Aku gagal. Tapi heran tak terkirakan. Kegagalanku tak serta merta membuatku sedih. Malah saat pas membuka pengumuman SPMB di warnet bareng temen-temen, aku masih sempatkan diri untuk tertawa. Ga tahu. Ini memang jadi trend mark-ku yang terkenal sebagai anak yang tidak pernah sedih atau selalu bahagia.
Hari-hari terus berlalu. Sampai tiba saatnya aku dan teman-teman SMA bikin janji kumpul-kumpul. Bernostalgia, ceritanya. Beberapa bulan tak bertemu membuat keadaan banyak yang berubah. Kita saling bertanya kabar termasuk kemudian bertanya tentang siapa kuliah di mana. Banyak diantara mereka yang menjawab sekarang kuliah di UNDIP, STAN, UNSOED, dsb. Ketika pertanyaan itu sampai kepadaku, aku hanya menjawab datar: ”aku dirumah aja”. Jawabanku seketika membuat teman-teman tertawa terbahak-bahak. Riang.
Tak ada rasa bersalah. Ternyata di sinilah titik tolaknya, anti klimaks-nya. Lha kok ya aku jadi bahan tertawaan? Kebodohanku? Apakah aku serendah ini? Sehina ini? Sehingga hal yang seharusnya jadi kesedihan malah jadi bahan tertawaan orang? Aku terdiam saja. Kutundukkan kepala dalam-dalam. Teman-teman tidak cukup pandai menangkap sinyal itu. Mereka terus saja tertawa.
Sepulang dari kumpul-kumpul tersebut aku jadi semakin memahami bahwa kekecewaan itu sudah seharusnya ada dari dulu, Kesedihan itu sewajarnya ada dari dulu. Kenapa hatiku begitu keras? Kenapa? Kenapa aku lupakan tentang kisah ibu yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkanku? Kenapa aku tidak menyadari bahwa tujuh saudaraku begitu bertumpu pada keberhasilanku? Dari situ semangatku kembali buncah. Aku pengin bener-bener membuktikan bahwa aku pasti bisa!!! Bisa!!! Bisa!!! Membuktikan bahwa aku mampu masuk UI, membahagiakan orang tuaku, menepis tawa ejekan teman-teman.
Enam bulan sebelum SPMB kedua aku pergi ke Jakarta. Niatku belajar SPMB disana. Deket UI, semoga bisa menambah semangat. Apa lagi deket kakak-kakak SINTESA, jadi kalo mengalami kesulitan belajar tinggal minta bantuan mereka. Disana akhirnya aku ketahui juga, hidup di Jakarta ternyata memang tidak mudah. Butuh perjuangan ekstra. Masalah pergaulan harus hati-hati. Kalo di jalan ga boleh plonga-plongo kalo ga mau di palak. Ga boleh nyante coz bisa “Ketinggalan kereta”, dsb.
Untuk masalah biaya hidup sehari-hari aku nyambi ngajar. Ya kecil-kecilan gitulah. Hasilnya lumayan. Satu kali pertemuan Rp 70.000, – . Satu Minggu dua kali pertemuan. Silakan hitung sendiri pendapatanku waktu itu dan jumlah itu sudah cukup untuk bayar kost serta makan sehari-hari dengan catatan makan sederhana saja; nasi setengah dengan jenis lauk oreg, kangkung, buncis, tauge atau semacamnya. Tidak pake ndog, iwak ato ayam karena itu sudah tergolong makanan mewah. Jika sudah ga tahan kepengin makan makanan mewah itu, maka terpaksa sehari makannya sekali saja. Dirapel.
Enam bulan adalah waktu yang sebentar untuk ukuran perjuangan masuk UI bagi orang yang tidak mempunyai modal apa-apa seperti aku ini. Ku-genjot habis-habisan tenaga ini untuk belajar, belajar dan belajar. Jenuh atau bosan tetep ada, bahkan indikasi putus asa sering kali menghampiri. Tapi aku punya senjata ampuh untuk melawan segala bentuk energi negatif semacam itu yang jelas sangat berpotensi menghalangiku dalam mencapai cita-cita. Kutulis saja daftar alasan mengapa aku harus kuliah di UI. Ada banyak sekali. Setiap rasa malas muncul aku langsung baca ‘lontar ajaib’ itu. Semangatku tumbuh lagi seketika. Di tembok kamar kost-ku juga aku tulis dengan tulisan-tulisan motivasi seperti:
“Penk, Kamu adalah Harapan Keluarga. Ingatlah!!!”
“Tidak Kuliah di UI Adalah Sebuah Keterpaksaan…”
Masih banyak lagi. So, tidak ada alasan lagi untuk tidak belajar. Semangat. Semangat. Semangat…
Datanglah saat yang mendebarkan itu. SPMB 2005. Dua hari yang benar-benar sangat menentukan. Tekadku untuk kuliah di UI sangat bulat. Dalam hati aku tanam dalam-dalam; “Kalau ga kuliah di UI, ngapain kuliah?” Maka kutulis pilihan kesatu dan keduaku adalah UI. Dua hari itu aku lalui dengan penuh optimis.
Kutunggu waktu sebulan untuk mengetahui hasilnya. Do’a semakin aku gencarkan. Tidak ada yang aku percayai lagi selain pertolongan-Nya. Waktu satu bulan sangat mungkin terjadi apa-apa. Dalam SPMB, pintar bukan jaminan bisa masuk ke perguruan tinggi yang diinginkan. Masalah teknis sangat bisa menjadi penyebab kegagalan. LJK kelipet atau kotor sehingga tidak dapat dibaca komputer, atau bahkan sampai hilang itu sangat mungkin terjadi. Makanya banyak-banyak berdoa adalah sebuah pilihan yang tepat karena pada kenyataanya bahwa Dia-lah Sang Maha Pengatur segala.
Satu bulan berlalu dan sampailah pada kisah genjot sepeda yang aku tulis di awal cerita. Aku ke Tegal untuk melihat pengumuman SPMB. Kali ini aku belajar dari pengalaman. SPMB kemarin pas habis Maghrib aku langsung ke warnet dan jelas bahwa warnet di mana-mana penuh berjubel orang yang mempunyai kepentingan sama, melihat hasil SPMB. Maklum, pengumuman dibuka jam 18.00 WIB. Nah, kali ini aku ke warnet agak maleman. Jam 11-an. Biar sepi dan akses internetnya cepet.
Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
AKU DITERIMA !!!!
Perjuanganku selama ini ga sia-sia. Allah memang selalu memberikan jalan kepada orang yang bersungguh-sungguh. Terima kasih ya Allah. Terima kasih. Aku bahagia tak terkira. Aku senang tak terperi. Ibarat ada orang yang ngasih duit se-koper mungkin tak akan sebahagia pada saat itu. STOP!!! Tunggu dulu. Siapa sangka, ternyata dalam bahagia masih ada aja derita.
Sahabat terbaikku, teman seperjuanganku, teman ngobrol di saat kumpul-kumpul di mana teman-teman yang lain ngobrolin bab kuliah yang kami ga tahu apa-apa, teman mancing di PAI, teman lari-lari waktu kita sama-sama pengin ngurusin badan, teman yang sama-sama gagal SPMB tahun lalu, yang kemudian SPMB lagi tahun ini, yang sekarang ikut melihat hasil SPMB denganku ditempat yang sama, teman yang setelah ini aku tidur di rumahnya karena ga mungkin aku pulang ke Gembong karena waktu dah malem banget, DIA GAGAL LAGI. Dia kecewa lagi. Aku berusaha menyembunyikan tawa bahagiaku. Diam. Aku tak ingin tertawa diatas kekecewaan orang lain, apa lagi sahabatku ini.
“Selamat ya Penk…”
Dahsyat. Kata-kata itu keluar juga dari mulutnya. Sekuat tenaga aku tahan air mata yang sudah nggawir-nggawir di ujung mata. Kupeluk saja dia, dan kuucapkan terima kasih tulus kepadanya. Sejak saat itu aku berjanji dalam hati tidak akan pernah melupakannya. Menjadi sahabatnya sampai kapanpun. Dalam keadaan apa pun. Alhamdulillah, sampai saat aku menulis ini, yaitu empat tahun kemudian kami masih berhubungan baik. Telepon, sms-an dan kalo pulang ke Tegal aku usahakan selalu main ke rumahnya. Sekarang aku kuliah di Depok dan dia kuliah di Tegal saja.
OK, kita lanjutkan. Besok paginya aku tak ingin terlalu lama memendam berita gembira ini. Aku pulang. Aku tak bisa menahan rasa yang … Ah silahkan Anda tebak sendiri apa yang aku rasakan saat itu. Lebih dari bahagia. Di angkot, di jalan, saat ku-genjot kembali sepedaku menuju kerumah, aku tak bisa mingkem alias terus tertawa. Orang-orang juga aneh melihatku. Tapi biarkan saja yang penting aku ga mengganggu mereka. Terus saja aku tertawa bahagia. Pengin rasanya saat setiap ketemu orang aku hampiri dia kemudian aku bisiki telinganya; “Hei, kamu tau ga? Aku diterima di UI lho… Aku ini mahasiswa UI lho…” ato sekalian aja pergi ke mesjid dan membuat pengumuman pake TOA bahwa aku, Novel Em Alam, telah diterima di UI. Ah, lebay banget. Tapi serius. Itu adalah reaksi yang sangat wajar.
Sampai rumah keluargaku sudah duduk berjajar-jajar di bangku ruang tamu. Tawaku mampu mereka tafsirkan dengan tepat.
“Ketrima neng apa, pel?” Kakakku mengawali kalimat.
“Fakultas Hukum UI.” Aku menjawabnya lugas.
“Alhamdulillah….” Kalimat itu keluar serentak tanpa harus dikomando lebih dulu. Mereka ikut senang. Mereka ikut bahagia.
Beberapa hari kemudian kami syukuran. Mengirim makanan kepada tetangga sekitar rumah. Ketika mereka bertanya-tanya tantang syukuran untuk apa, ibu menjawab dengan penuh rasa bangga dalam dada: “Kye syukuran, anake aku ketrima neng UI Fakultas Hukum. ”Sebenernya ibuku pun ga begitu paham tentang apa itu UI dan Fakultas Hukum. Beliau hanya menyampaikan apa yang aku sampaikan kepada beliau.
Ketahuilah, respon para tetangga biasa-biasa saja. Datar. Kami cukup prihatin. Bukan tujuan kami minta simpati, diperhatikan atau bahkan dielu-elukan. Tapi kenapa mereka harus diam? Apa alasannya? Ternyata memang benar. Mereka untuk tau FHUI saja sudah susah. UI mungkin pernah dengar. Mungkin satu kali atau dua kali, lewat TV. Bahkan mungkin ada yang belum pernah. Mereka berpikir, keterima di FHUI, so what gitu lho? Emang kenapa? Untuk alasan apa kami berekspresi dengan penuh antusias? Apa pengaruhnya?
Jelas ini adalah trouble besar buatku. Orang-orang di desaku sangat sedikit memberikan perhatiannya pada dunia pendidikan. Seakan-akan sudah menjadi budaya di desaku bahwa setiap kali lulus SD anak-anak mereka langsung diterjunkan untuk kerja. Laki-laki ke sawah, nyitak bata. Buat perempuan ke (desa) Tembok, njait. Bisa dihitung yang sekolah ke tingkat lanjut. Apa lagi sampai ke perguruan tinggi.
Ini adalah tanggung jawabku untuk menyadarkan mereka betapa pentingnya pendidikan. Manfaat yang dirasakan mungkin tidak langsung, tapi pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang tidak hanya bermanfaat bagi diri atau keluarga tapi merupakan manifestasi dari partisipasi kita secara langsung dalam pembangunan yaitu dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, demi kehidupan yang lebih baik untuk anak cucu kita.
Waktu terus berjalan. 3 semester sudah aku lalui. Akhirnya, saat yang kelak aku takkan pernah melupakannya sampai kapanpun, dia datang juga. Senin, 17 Pebruari 2007. Saat yang seakan-akan waktu berhenti sejenak. Bumi lengang tanpa suara dan gerak. Langit pucat. Bunga-bunga mendadak layu. Wajah-wajah menunduk muram. Saat yang sampai saat ini aku tak mampu meng-kwalifikasikannya dalam bentuk kata-kata. Beliau, ibuku tercinta, dipanggil Allah SWT.
“Indah nian takdirmu ya Allah. Di saat aku sedang berjuang untuk membahagiakannya. Disaat aku baru menyadari bahwa aku benar-benar butuh dia. Disaat kepala ini kusandarkan penuh di pundaknya. Ibuku tercinta, Kau ambil dia. Ya Allah, dia yang belum sedikitpun aku membalas jasa-jasanya. Dia yang belum sempat aku menyeka keringat peluh di wajahnya. Dia yang belum sempat aku mengajaknya bersilaturahmi ke rumah-Mu, Baitullah. Dia yang belum sempat aku ajak jalan-jalan dengan sedan Lexus mewah-ku kelak; Kau ambil begitu saja. Indah nian takdirMu ya Allah…
Cukup lama aku terdiam dan termangu menekuri takdir-Nya. Sampai kemudian aku sempat berpikir, jika ibuku telah tiada UI ini untuk siapa? Air mata ini seakan telah mengering setelah beberapa minggu aku habiskan waktu hanya untuk meratapi kepergian beliau. Ah, berapapun lama waktu yang aku habiskan untuk ini sepertinya hanya akan memperdalam rasa sedih yang kurasakan.
Akhirnya semangatku kembali bangkit ketika memahami bahwa untuk membahagiakan beliau bukan hanya dengan cara yang langsung seperti ketika beliau masih hidup. Menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungan dengan meniatkan kebaikan atas dasar cinta kepada Ibu dengan harapan Allah akan mengampuni dosa-dosa serta meridhoinya, mungkin akan jauh lebih baik.
Hal tersebut berhasil membangkitkan semangatku untuk kembali meneruskan perjuangan yang sempat terhenti. Aku tetap bertekad untuk sukses. Dengan kesadaran penuh bahwa ternyata masih banyak orang yang membutuhkan, sedikit demi sedikit aku bangun lagi motivasi diri. Tidak usah muluk-muluk bicara dalam lingkup negara, faktanya masyarakat Tegal sendiri masih butuh untuk diperhatikan. Tegal, tempat aku dilahirkan, memahami satu-satu arti hidup dan tempat harapan aku menutup mata untuk yang terakhir kalinya kelak.
Aku harus ada untuknya. Mengabdi kepadanya untuk membangun masyarakat yang beriman, cerdas dan bermartabat. Aku berjanji suatu saat kelak aku pasti pulang ke Tegal. Mempersembahkan semua apa yang aku punya. Membuat Tegal sebagai daerah terbaik dengan kehidupan yang harmony; pejabat yang anti korupsi, masyarakat yang madani dan pemuda-pemudi yang demen ngaji. Oh indahnya. Aku yakin bahwa Tegal yang benar-benar ngangeni lan mbetahi karena keminclong lan moncer masyarakate kelak pasti akan terwujud. Tunggu saja. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar