Selasa, 10 Juli 2012

KISAH MENGGUGAH SEORANG MAHASISWA ITB

Saya memandang hidupnya sebagai sebuah ironi. Tapi hati kecil saya berdoa semoga anggapan saya salah se-keliru-kelirunya.

Nahnu, adalah satu diantara beberapa teman awal saya ketika sama-sama menginjak kampus Ganesha di Bandung. Kesan pertama melihat wajahnya, terutama matanya, bahwa anak ini cerdas dan curious akan segala hal. Dia berasal dari sebuah desa di Jawa Tengah atau Jawa Timur, saya lupa tepatnya dimana. Mungkin dia anak yang paling cerdas di sana, dan berhasil menembus persaingan ketat masuk ITB. Peringkat UMPTNnya sepertinya bagus, masih lebih bagus dibanding saya yang sudah masuk di zona degradasi karena nilai saya mendekati limit bawah.

Yang membuat saya, dan kami teman-teman di teknik Sipil ITB kala itu tercengang adalah cerita tentang perjuangannya masuk ITB. Bermodal kecerdasan saja tidak cukup, perlu dukungan financial yang memadai. Apalagi dia berstatus perantau di Bandung, butuh biaya kost, makan, transport dan semacamnya. Dia bercerita, untuk mendapatkan dana buat memenuhi persyaratan pendaftaran masuk ITB yang saat itu tahun 1995 sekitar Rp 1jutaan, orang tuanya yang petani terpaksa menjual asset produksinya: sawah.

Saya lupa, apakah dia juga bercerita bagaimana kegiatan usaha ayah-ibu setelah sawah itu terjual, ataukah mereka masih punya sawah ladang lain. Entahlah, tapi cerita berikutnya bisa meraba apa yang terjadi pada kehidupan keluarganya di desa.

Setiap bertemu di kampus, saya selalu menunggu cerita baru darinya. Sebenarnya ini menjadi semacam refleksi diri buat saya untuk selalu bersyukur dengan keadaan kala itu. Nahnu, menjadi sosok mirror dalam keterbatasan saya, bahwa saya sungguh jauh lebih beruntung karenanya tak guna menggelontorkan banyak keluhan di hidup yang seharusnya indah selayak menjalani masa mahasiswa di kota Paris Van Java itu.

Ke kampus, pakaiannya agak kumal dan lusuh. Buku-bukunya yang kusam a la kadarnya juga menjadi penanda hidupnya yang sulit. Rambutnya sering dibiarkan tak tersisir dan agak kecoklatan. Kelihatannya sisa dari tidur yang sulit semalam. Bandung saat itu sedang dingin-dinginnya dan dia menghabiskan malam dengan menumpang di Masjid Salman depan kampus ITB. Tak bisa saya bayangkan dengan keadaan terbuka seperti itu dia bisa tidur dengan nyenyak. Saya saja sempat sakit beberapa hari karena didera dingin kala pertama menginjak Bandung.

Kwartal pertama 1995 kelihatannya bisa dilewati dengan perjuangan sulit. Nahnu hidup berpindah-pindah tempat tinggal, dari satu asrama ke asrama mahasiswa yang lain. Satu hal yang membuat dia tidak betah adalah ketika merasa dirinya dilecehkan. Jamak dimaklumi saat itu, untuk menjadi penghuni asrama mahasiswa, ada banyak lika-liku orientasi yang wajib dilewati. Terkadang orientasi yang diterapkan oleh mahasiswa senior sungguh terasa menghina kemanusiaan kita. Dari tugas-tugas a la cleaning service, sampai bentakan atau hinaan verbal mungkin bisa saja diterima sebagai new comer.

Dan kawan saya Nahnu seperti bergeming dengan semua pelecehan itu. Tidak ada dalam kamusnya pendewasaan dengan cara melecehkan, meski pada saat yang sama dia malah berhasil melewati OS Himpunan Mahasiswa yang tidak kalah kerasnya. Di saat OS Himpunan, oleh mahasiswa senior (swasta), dia didaulat menjadi Presiden Republik Mampus. Yakni group peserta yang Mampus atau yang tidak bisa mengikuti kegiatan OS secara normal karena terganggu kesehatannya. Saya kurang ingat apa sakitnya saat itu, tapi yang saya ingat saya juga masuk di ‘kabinet’nya karena saat itu saya baru saja sembuh dari penyakit Tipes.

Nahnu tak bisa hidup dengan semua keterbatasan, saya yakin diam-diam dia menghimpun rencana untuk mengentaskan dirinya dari semua yang membuatnya sulit. Selepas semester awal, dia sedikit demi sedikit mulai menemukan jalannya. Jalan yang mudah bagi seorang mahasiswa ITB: mengajar privat anak sekolah untuk mata pelajaran Ma-Fi-Ki (matematika, fisika, kimia). Kerja sambilan mengajar ini sangat umum dijalani mahasiswa ITB. Saat itu, rata2 upah mengajar sekitar Rp 12ribu/jam atau Rp 100ribu per bulan. Kadang-kadang lebih, tergantung negosiasi dan kondisi keuangan keluarga si anak privat.

Kerjaan mengajar ini sebenarnya gampang, karena aktifitas utama hanya mengerjakan PR atau soal-soal yang diajukan si anak privat. Tidak perlu mendalami ilmu pedagogi atau psikologi pendidikan. Cukup meluangkan waktu untuk mengasah ulang kemampuan dasar berhitung dan sedikit teori fisika/kimia yang sungguh sederhana. Jam mengajar bisa disesuaikan untuk tidak bentrok dengan waktu kuliah. Terkadang mengajar dilakukan malam/sore hari, atau saat weekend. Lumayan duit yang terkumpul bahkan dari satu anak privat bisa menutupi uang makan sebulan. Apalagi kalau anak privatnya gadis SMA yang cakep, tentu nambah lagi keuntungan psikologis lepas dari beban tugas kuliah yang ribet dengan pemandangan yang menyejukkan. He3.

Tapi Nahnu kelihatannya melampaui batas. Ia bukannya mencocokkan jadwal mengajar dengan lowongnya jam kuliah. Tapi ia lebih rela mengorbankan jam kuliah untuk mengajar di beberapa anak privat. Konsekuensinya, dia menjadi lebih sering tidak masuk kuliah. Alasannya, sibuk mengajar privat. Dia hanya masuk kuliah kala jam mengajarnya lowong. Saya dan teman-teman prihatin dan mencoba ‘mengarah’kan acap kali bertemu Nahnu di saat-saat yang jarang. Tapi sepertinya dia cuek saja. Mungkin buat dia kuliah di ITB tidaklah sesulit yang kami jalani.

Hidupnya sepertinya sudah agak longgar karena mengajar ini. Dia sudah bisa menyewa kamar kos di bilangan Cisitu, tidak perlu lagi menumpang ke teman atau menjajaki asrama yang penuh ‘cobaan’ itu. Saya bahkan pernah bertemua dia sedang bersama adiknya di pinggir jalan. Rupanya ia memfasilitasi adiknya untuk berlibur di Bandung. Dan juga memberikan orientasi agar bisa ‘kuliah’ di ITB juga seperti dirinya.

Dan akhirnya, ketika kuliah kami menginjak tahun ke-3, tahun ke-4, Nahnu seperti hilang di telan bumi. Kami tidak pernah mendengar kabarnya lagi meski kami yakin dia masih berseliweran di Bandung dengan rutinitas mengajarnya. Hingga suatu saat ada teman yang ‘menemukan’ dia sedang berjualan dompet dan tas di emperan masjid Salman.

Kabarnya, dia tak lagi mengajar karena sudah menikah dengan salah satu anak didik privatnya. Karena menikah ini, ia mungkin butuh usaha lain yang lebih produktif untuk membiayai keluarga barunya. Kuliahnya, sudah berantakan tak terurus karena absen selama hamper 2-3 tahun. Kami masih sempat mencoba membujuknya untuk kembali ke bangku kuliah, tapi ia sepertinya gamang untuk bisa masuk ke lintasan. Dia menyerah dan memilih berdamai dengan hidup barunya.

Beberapa tahun selepas wisuda, saya dan teman2 masih sering menyempatkan bertemu dengan Nahnu di lapak jualannya di emperan depan mesjid Salman ITB. Saya kemudian membayangkan bagaimana raut wajah kedua orang tuanya, yang ikhlas menjual sawah untuk membiayai kuliah Nahnu di ITB, salah satu kampus terbaik di negeri ini, reservoir kelas menengah masa depan Indonesia.

AbuDhabi, 19 Mei 2011
-kala mengenang kawan itu

http://daengrusle.wordpress.com/2011/05/19/nahnu/

5 komentar:

  1. Kisah ini sangat mengharukan dan sulit di terka.

    BalasHapus
  2. PENUH DENGAN MISTERI...... TAK SEDIKIT MAHASISWA SEPERTI TOKOH DALAM CERITA INI..... SEMOGA DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA LEBIH BAIK BAGI MAHASISSWA CERDAS YANG KURANG MAMPU EKONOMINYA.......

    BalasHapus