Selasa, 10 Juli 2012

PERJALANAN RAKHMAT MERAIH UI

“Kupas Kulitnya Untuk Mengetahui Rasanya”
Rakhmat Lukmeidi (Manajemen 2006)
Saya dilahirkan di sebuah perumahan sekolah yang sangat kecil dan tua di Desa Kreman, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal pada tanggal 8 Mei Tahun 1988 bertepatan dengan Senin Pahing. Tidak genap satu tahun kemudian, orang tua saya memboyong keluarganya ke Desa Karangmulya di Kecamatan Suradadi dan Kabupaten yang sama. Sampai sekarang tempat itu sebagai tempat tinggal kami dan mungkin sampai kami merasakan nikmatnya menghirup nafas terakhir.
Saya adalah satu dari tiga bersaudara. Di tengah-tengah keluarga inilah saya mendapat banyak curahan kasih sayang dari orang tua dan keluarga sekalipun mereka belum pernah mengatakan itu di depan saya. Namun saya mengetahui akan hal itu dari pada orang lain termasuk Anda. Entah bagaimana mereka mengakui kehadiran saya, namun sikap mereka menunjukkan harapan terhadap saya kelak untuk bisa membahagiakan mereka, membuat mereka bangga akan saya, dan mungkin menjadi anaknya sebagai bahan pembicaraan yang selalu hadir dalam ucapan orang tua di tengah pembicaraan dengan orang yang mereka kenal.
Saya hidup dalam suasana keluarga yang mungkin berbeda dengan orang lain, dari keadaan ekonomi, keharmonisan keluarga, sampai mungkin pada nilai spiritual yang ditanamkan oleh orang tua saya. Orang tua saya adalah pegawai negeri sipil, tentunya itu bukan merupakan hal yang istimewa. Saya sering mendengar ucapan yang menunjukkan betapa sulitnya ekonomi yang harus dipenuhi orang tua saya saat saya terlibat dalam pembicaraan mereka maupun secara tidak sengaja saya mendengarnya.
Diawal semester biaya administrasi sekolah ketiga anaknya seolah menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mereka. Namun, itulah yang membentuk tekad saya untuk menjadi orang yang mampu untuk berbuat lebih baik, meringankan beban mereka, mampu memberikan waktu luang mereka untuk beristirahat dan melupakan kejenuhan karena memikirkan masa depan anak-anaknya. Saya bangga akan itu semua dan saya jadikan hal itu sebagai belati untuk mengejar cita-cita yang mereka harapkan dari diri saya. Saya sangat bersyukur ada di tengah-tengah mereka.
Sejarah pendidikan saya tidaklah seistimewa orang lain yang mungkin pernah mendapat beberapa gelar prestasi. Saya sempat merasakan pendidikan kanak-kanak di TK Pertiwi selama dua tahun sebelum saya melanjutkan ke SD Negeri Karangmulya selama enam.tahun. Tidak ada sesuatu yang istimewa di selama saya bersekolah disini hanya selalu merasakan juara kelas. Kemudian pendidikan saya berlanjut ke SMP Negeri 3 Tegal.
Sesuatu yang aneh dan mengherankan bagi tetangga dan rekan-rekan di tempat tinggal saya. Bagi mereka tidak semestinya setiap pagi saya pergi jauh ke Kota sejauh 20 Kilometer hanya untuk mendapatkan pendidikan setingkat menengah yang membuat saya tidak meluangkan waktu untuk bisa berkumpul dengan mereka. Memang benar, sangat sedikit waktu saya untuk bisa bertemu dan berbincang dengan mereka sampai akhirnya praktis tidak memiliki kawan di desa sampai sekarang.
Seolah masuknya saya ke SMP di Kota telah mengenalkan dunia baru. Saya yang anak desa saat itu, dipenuhi rasa takut dan ketidakpercayaan diri yang amat besar yang justru menyudutkan saya sebagai orang yang lemah. Bekal saya yang dibawa dari desa tidak cukup untuk membangkitkan optimisme saya bahkan sekalipun saat berbincang-bincang dengan orang lain. Menilai orang lain sebagai seseorang yang memiliki sesuatu yang lebih semakin menenggelamkan apa yang saya miliki. Namun demikian, hal itu tidak berlangsung selamanya.
Bahkan saya katakan “Pendewasaan saya akan pendidikan telah muncul dari tempat ini”, saya harus lebih keras dalam menghadapi sesuatu, mengenal hal yang baru, mengerti atas apa yang seharusnya, dan patut dicintai, dan tidak sekali-sekali meremehkan atas apa yang saya miliki. Akhirnya saya dapat melewati rintangan selama di SMP pada tahun 2003. Bahkan mendapatkan prestasi di luar sekolah untuk pertama kalinya sebagai siswa SMP dengan nilai terbaik di kalangan KORPRI se Kecamatan Suradadi.
“Kawan akan memberikan apa yang tidak kita miliki”
Pernyataan yang cukup pendek dan harus selalu Anda dengar selama saya masih hidup di dunia. Untuk mengerti hal itu, mari kita simak apa yang saya mulai dari selepas SMP : Beberapa Minggu yang lalu persis sebelum saya tulis artikel ini, baru saya sadari bahwa dalam diri saya ada hal yang buruk yang mungkin akan menghancurkan saya dan menyulitkan masa depan saya, yaitu “Orang yang selalu pesimistis atau tidak percaya diri”. Sekalipun kita dan orang lain di sekeliling kita menyadari bahwa kita memiliki kemampuan atau karakter yang sulit orang lain dapatkan, kemampuan kecerdasan, pemahaman yang baik, jiwa yang mulia dan sebagainya, namun itu semua tidak akan memberikan peranan yang besar.
Kembali ke latar belakang pendidikan saya, saya tidak mungkin berada di sekolah SMA Negeri 1 Tegal seandainya Allah SWT tidak mengizinkan saya memiliki kawan yang setia. Sebelumnya saya tidak yakin untuk dapat melanjutkan ke sekolah ini, yaitu kembali ke masalah tadi, saya orangnya pesimistis, selalu ragu akan kemampuan. Saya sempat bertekad untuk melanjutkan ke sekolah selain SMA Negeri 1 Tegal. Namun “Kawan akan memberikan apa yang tidak kita miliki’. Mereka membujuk saya untuk membangkitkan semangat. Meninggalkan jauh-jauh karakter yang mustahil dapat memberikan manfaat pada diri saya. Mereka menemani saya dan mengisi kekosongan akan semangat untuk bisa bersekolah di Sekolah Menengah Atas.
Selama di SMA nyaris saya tidak merebut prestasi kelas maupun sekolah. Waktu-waktu saya termasuk dua tahun awal saya habiskan untuk bergaul, berorganisasi, dan bersekolah. Jangan heran, Anda melihat saya menempatkan bersekolah pada tempat terakhir. Memang benar, faktanya saya tidak begitu banyak meluangkan waktu untuk belajar. Namun tidak saya katakan bahwa sekolah sebagai prioritas terkahir. Salah besar bila Anda menginterpretasikan demikian.
Diluar jam pelajaran bahkan saat jam pelajaran saya selalu sempatkan untuk berkumpul dengan teman-teman yang memiliki kepentingan sama. Sedangkan, hampir tiap hari saya pulang ke rumah pada pukul delapan paling cepat sampai sebelas malam. Dalam keadaan letih dan tidak jarang diguyur hujan, ditemani angin malam yang tidak menyehatkan, dan kemungkinan macetnya sepeda motor. Sesampai di rumah pun jarang saya memanfaatkan waktu untuk belajar. Bukan juga saya jarang belajar. Itu dilakukan karena saya letih dan bersiap untuk berangkat esok paginya selepas shalat Shubuh. Berangkat ke sekolah yang jaraknya tidak bisa dikatakan dekat dan lebih tepatnya selalu menghadapi ancaman maut selama diperjalanan. Dengan kehidupan yang demikian, saya semakin memahami posisi saya, dan harapan orang lain termasuk keluarga.
Setiap perjalanan pulang malam, diatas sepeda motor milik orang tua saya, satu hal yang tidak pernah saya lewatkan, hal yang selalu saya pikirkan, yaitu “Dengan keadaan saya seperti ini, saya akan menjadi apa kelak, saya malu pada orang tua saya, adik saya, tetangga yang hampir tiap hari melihat saya bersusah payah bersekolah”. Hal lain adalah selama perjalanan pulang sering saya menjumpai anak SD berhamburan di jalan, anak kecil yang belum tahu berapa hutang dan tanggungan kedua orang tua mereka serta hutang negara yang kelak menjadi tanggungan mereka, anak kecil yang tidak memahami bagaimana negeri ini berdiri dan bertahan dengan pemimpin yang tidak bisa dikatakan suci dari banyaknya dosa.
Saya menangis melihat mereka, atas kepolosan mereka, saya pikir mereka adalah sedikit dari sekian banyak korban di negeri ini, atas permainan politik beberapa golongan, atas perebutan kekuasaan yang justru menjadikan mereka mengalami kehidupan seperti ini. Saya ingin menyampaikan bahwa, tidak seharusnya mereka mengalami pendidikan dan kesejahteraan seperti ini, saya tidak berani berjanji bahwa saya akan merubahnya lebih baik, namun Allah SWT telah memberikan kesempatan dengan sedikit menganugerahi kemampuan pada saya dan anda untuk bisa membantu mereka.
Ringkasnya adalah dengan latar belakang saya dan keluarga, serta saudara-saudara saya yang kesulitan, jauh dari kehidupan yang lebih nyaman yang seharusnya mereka miliki dan mereka terjebak dalam ketidaktahuan maka “lingkungan mengharapkan saya membantu mereka”
“Kawan akan memberikan apa yang tidak saya miliki”
“Lingkungan mengharapkan saya membantu mereka”
Bimbang I
Bersiaplah untuk memasuki inti dari apa yang anda atau teman-teman butuhkan. Tahap di mana banyaknya tekanan dan uji mental untuk menerawang seperti apa masa depan kita. Situasi yang butuh sebuah solusi, yaitu masa di mana kita harus menentukan pendidikan di perguruan tinggi.
Memahami Dibalik Fenomena Menjelang UAN
Menjelang akhir pendidikan saya di SMA memaksa saya mulai untuk berpikir lebih serius, berpikir tentang apa yang harus saya pilih, persiapan seperti apa yang harus saya lakukan. Bahkan lebih dari itu saya mulai melihat dunia yang sebenarnya, apa yang diinginkan dunia terhadap saya, adakah tempat untuk saya, yaitu tempat untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada orang banyak. Berpikir serius, maksudnya adalah akan melibatkan banyak pihak, dan tidak ditentukan oleh saya atau anda sendiri. Saat di mana akan melibatkan keinginan dan kondisi orang tua, melibatkan emosi anda yang bercampur dengan kemampuan yang dimiliki dengan kesukaan serta bakat untuk menentukan pilihan. Anda tidak akan bisa melakukan yang demikian kecuali “Bersikap dewasa”.
Belum menjalani Ujian Nasional, berbagai informasi baik tentang UAN maupun UM dan SPMB bermunculan. Bingung saya untuk menyikapi hal tersebut. Standar UAN yang dinaikkan, penambahan mata ajar untuk diuji serta penerapan KBK untuk pertama kalinya dalam sejarah SMA di Tegal, misalnya, sedikit mengancam saya dan teman-teman sekolah. Pastinya hal itu membuat saya tidak bisa bermain-main lagi, panik dan tidak tahu pasti yang harus dilakukan terlebih dahulu. Persiapan materi ujian pun sama sekali belum disiapkan, terlebih saya tidak mengikuti kursus atau bimbingan belajar khusus menghadapi UAN.
Tugas yang diberikan guru setiap mata pelajaran pun semakin banyak, menumpuk, dan harus diselesaikan sesegera mungkin. Salah satunya yang saya ingat waktu itu, sebagai siswa kelas XII IPS, saya mendapat tugas Ekonomi yang sangat banyak dari Bapak Hadi, yaitu mengumpulkan referensi soal untuk lima sampai tujuh tahun terakhir guna dijawab dan dijelaskan masing-masing soal.
Saya cenderung mengeluh dan menyesalkan, kenapa justru beliau memberikan atau memadatkan waktu siswanya untuk mengerjakan tugas, bukankah kami memerlukan waktu yang ekstra untuk menyiapkan materi yang belum dikuasai bahkan sebisa mungkin menyiapkan SPMB. Seakan materi selama tiga tahun tidak cukup untuk dipelajari sampai mampu dipahami dalam waktu yang sedemikian singkat ”Bagai punguk merindukan bulan”. Namun demikian, jangan berhenti membaca sampai disini atau anda akan tersesat alias pelajaran dari pengalaman belum usai.
Suatu waktu saya sempatkan untuk merenung dan memikirkan apa yang sudah saya alami : “Keluhan yang sudah saya lontarkan ke beberapa teman, beberapa tugas yang saya abaikan, dan banyaknya tugas yang saya kerjakan hanya dengan mencontek untuk memenuhi nilai”
Alhasil, saya menemukan makna didalamnya. Saya tidak perlu merisaukan itu, jangan terlalu mengeluh sekalipun sulit bagi saya melakukannya. Apa yang saya dapat adalah tugas-tugas yang diberikan oleh seorang guru tidak lain memang cukup memakan waktu dan tenaga, mengurangi jatah kita untuk melakukan hal yang mestinya diprioritaskan. Namun demikian, itu tidak lain juga sebagai suatu alat bagi mereka yang memiliki kesadaran rendah untuk bisa belajar menyiapkan UAN. “Sebagai alat” maksudnya adalah media atau proses pencapaian yang bisa dikatakan juga persiapan yang dalam hal ini UAN.
Tugas sama halnya dengan sebuah latihan, saya tidak bisa membaca saja untuk bisa mengerti dan mampu mengerjakan soal UAN tanpa buku. “Memiliki kesadaran rendah” bahwa siswa terutama saya perlu adanya paksaan untuk belajar, sekalipun saya tahu itu. Bagi mereka yang memiliki kesadaran rendah untuk bisa bertindak maka perlunya paksaan dari pihak lain termasuk guru dengan memberikan tugas sehingga mereka akan belajar. Hal tersebut sama halnya dengan sebuah peraturan yaitu sekalipun bisa dikatakan atas kesadaraan masing-masing namun itu tidak akan mungkin. Oleh karena itu, perlunya peraturan dan paksaan sama halnya dengan kasus diatas, penambahan mata ajar yang diujikan pada UAN juga demikian. Saya berpikir positif atau dengan sisi atau sudut yang berbeda.
Penambahan mata ajar pada UAN memberatkan? Saya katakan “tidak”. Apa yang menjadikan hal tersebut memberatkan. Toh, akhirnya akan diuji juga, hanya saja memang berbeda dari penguji sekolah dan nasional.
Dari sekolah mungkin kita berharap ada kebaikan dari guru dan sebaliknya apabila di UAN tidak bisa diharapkan. Sekali lagi saya berpikir positif atau dengan sisi yang berbeda saat itu, bagi saya mata ajar yang di UAN-kan akan menghasilkan output nilai yang adil dan terstandardisasi. Saya tidak rugi apabila kemampuan saya dan teman-teman di sekolah yang berbeda akan diukur dengan standar yang sama atau tidak sesuka sekolah masing-masing. Namun demikian, itu terlepas dari saya setuju UAN atau tidak. Jalani dulu apa adanya.
Tidak mencontek saat mengerjakan tugas rumah sangatlah sulit, namun tidak untuk mengerjakan saat ujian tengah semester, ujian semester, maupun ujian nasional. Dari saya sekolah di SMP sangat tidak suka untuk mencontek disaat ujian seperti itu. Namun demikian, naluri untuk mendapatkan nilai bagus tidak terbendung dan akhirnya mencontek. Hanya saja, diakhir tahun SMA saya semakin menyadari dan sedikit dapat mengendalikan rasa itu.
Saya mulai terbiasa untuk tidak melakukan hal tersebut, memang susah, tapi Alhamdulillah dapat saya lakukan walaupun sering bertengkar dengan teman karena saya tidak bisa memberikan apa yang mereka mau. Saya berusaha menanamkan pada diri saya bahwa saya benci mencontek dan itu harus dilakukan apabila kita benar-benar mempercayai adanya Tuhan dan adzabnya.
Berdasarkan pengalaman yang saya alami, beberapa kawan yang saya kenal dari sekolah saya dulu hingga sekarang, tak seorang pun dari mereka yang bebas dan hobi mencontek memperoleh tempat yang baik, yaitu sekolah yang ideal, perguruan tinggi yang bagus, bahkan sulit untuk lulus dalam ujian yang diadakan pihak luar seperti SPMB dan UM PTN.
Allah Maha Adil, Dia mengenali siapa yang pantas untuk mendapatkan tempat yang baik dan siapa yang akan takabur atau sombong dan berbuat tidak baik ketika mereka diberi tempat yang nyaman. Jadi, jauhilah mencontek sekalipun itu berat. Mencontek tidak lain adalah mememanjakan diri, menipu terhadap dirinya dan orang lain, menggantungkan kekuatan terhadap orang.
Saya semakin dapat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Mungkin bisa dikatakan aneh bagi teman-teman saya saat itu bahwa saya sering tidak senang apabila guru tidak masuk atau kelas dibatalkan. Saya akan merasakan rugi besar, waktu saya terbuang dan saya harus mendengar tawa dari mereka yang senang akan itu. Saya selalu merasa rugi apabila ada beberapa materi yang terlewatkan. Hal tersebut yang membuat teman dikelas sering kesal pada saya.
Saya terlalu sering bertanya pada teman baik di kelas maupun di luar dan mereka anggap saya terlalu mengungkit-ungkit hal yang tidak penting, bertanya yang terlalu sederhana dan tidak bermutu, serta terlalu mengganggu. Jadi, manfaatkan waktu sebaik-baiknya dan “Saya rugi waktu saya terbuang percuma”. “Saya rugi waktu saya terbuang percuma” saat itu memberikan dua pilihan pada saya, yaitu “Saya akan bersenang-senang saat ini atau bekerja keras untuk mendapatkan kesenangan esok hari”.
“Saya akan bersenang-senang saat ini atau bekerja keras untuk mendapatkan kesenangan yang lebih besar esok hari”.
Pandangan Yang Buruk
Jauh hari sebelum UAN di mulai, SMA saya kedatangan teman-teman atau tepatnya saya panggil kakak-kakak mahasiswa dari UI. Mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi yang dulu sangat saya benci. Mahasiswa yang hanya mengharapkan para siswa yang masih polos untuk dapat tergiur dan mengikuti jejak busuk mereka. Mahasiwa yang terlena akan kehidupan orang lain yang sengsara yang tidak cukup kemampuan finansial guna bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
Mereka datang hanya untuk memberikan kabar “Inilah saya, lulusan salah satu SMA di Tegal yang sekarang sedang menjalani pendidikan S1 Kedokteran Universitas Indonesia” dan suara takjub pun bergemuruh di kelas yang terpusat ke jas kuning yang ada di depan mereka. Sekali lagi Universitas mereka yang hanya menerima pemasukan untuk mengisi perut para pengelola kampus.
Beberapa kali saya sampaikan kepada teman dan begitu pula teman yang saya ajak bicara berpandangan serupa. Intinya adalah demikian. Mereka (mahasiswa) yang datang menutupi segala ketidakenakan yang ada di kampus mereka, informasi menggiurkan yang mereka sampaikan seperti beasiswa dan sebagainya adalah jauh dari kemampuan siswa pada umumnya untuk bisa mendapatkanya, mereka adalah istimewa dan sangat sulit untuk bisa menjadi seperti mereka. Pada akhirnya timbulah rasa tidak suka akan sikap yang bertele-tele mereka di depan kelas.
Jangan berhenti membaca sampai disini atau anda akan tersesat alias pelajaran dari pengalaman belum usai !
“Saya tidak akan percaya akan informasi Perguruan Tinggi sebelum saya merasakan kuliah di sana”, itu adalah inti dan ringkasan dari saya dan mungkin banyak siswa-siswi lainya. Sulit bagi siswa-siswi semacam itu untuk dapat mengerti tentang ketulusan informasi yang diberikan mahasiswa kecuali dengan satu cara: Mereka kuliah dan keluar lagi sampai menemukan perguruan tinggi yang menurut mereka baik. Oleh karena itu, saya akan ceritakan bagaimana saya mendapatkan pencerahan agar pembaca juga tidak tersesat.
Sampai pada pasca UAN saya masih tidak suka dengan yang namanya Universitas Indonesia bahkan sampai pada ujian saringan masuk SPMB. Saya hanya berusaha untuk bisa memenuhi harapan orang tua saya agar saya bisa bersekolah di STAN. Ya, STAN, di mana banyak orang tua menaruh harapan pada institusi pendidikan tersebut lepas dari bagaimana nanti nafkah akan didapat. Stop! Saya tidak akan membahas STAN disini, saya hanya akan membawa teman-teman mengikuti jejak yang dinilai baik dari saya.
Sebenarnya banyak dari siswa-siswi di sekolah saya dan mungkin di banyak sekolah menengah atas memiliki kesempatan yang besar untuk menjadi mahasiswa perguruan tinggi swasta. Mereka mendapatkan beasiswa dari perguruan tinggi yang mendatangi sekolah. “Beasiswa” itu hanya bahasa mereka saja, kemasan yang dibuat menarik yang pada dasarnya merekalah yang membutuhan kita.
Kembali dalam masa menghadapi SPMB, Saya semakin tidak yakin atas kemampuan saya. Persis seperti yang saya alami saat SMP menjelang SMA. Jangankan memilih perguruan tinggi, menentukan pastinya saya akan kuliah pun semakin berat, yaitu seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa ini adalah saatnya berpikir serius dan dewasa dengan melibatkan banyak pihak.
Saat-saat genting seperti ini, perguruan tinggi negeri manapun bagi saya sangat berarti. Target tertinggi saat itu adalah Undip, disamping saya berharap UNNES dan Unsoed dengan syarat hanya berkuliah di sekitar Jawa Tengah saja, sebuah permintaan dari orang tua saya.
Bahkan “sangking” frustasinya saya, sempat saya putuskan untuk berkuliah di swasta saja dan itu sudah cukup menurut saya, keputusan yang merupakan imbas dari sihir mereka yang mempromosikan perguruan tinggi ke kampus. Namun masih ada waktu satu bulan lebih untuk menjalani tes masuk.
Mengekor
Pada akhirnya, suatu hari Allah SWT memberikan sebuah titik terang. Dengan sekali lagi saya mengingatkan “Kawan akan memberikan apa yang tidak saya miliki”. Begitulah kalau boleh saya katakan yaitu saya diajak oleh teman saya untuk mengikuti bimbingan belajar di Jakarta, bimbingan belajar yang sempat dikoordinir oleh kakak-kakak mahasiswa dari UI. Mastur Mujub Ikhsani, namanya (mahasiswa Fakultas Hukum Undip angkatan 2006), salah seorang teman yang memiliki kakak mahasiswa keperawatan UI yang sedang menyelesaikan tugas akhir kala itu.
Kebetulan juga orang tua dia adalah kenalan dari orang tua saya. Sebagai gambaran, orang tua saya memiliki karakteristik seseorang yang sangat konservatif terhadap keadaan kala itu. Oleh karena itu, sangat sulit untuk bisa memberikan pengertian akan sebuah kenyataan bahwa saya harus memutuskan demikian dan sebagainya. Saya pun tidak akan berani untuk menyampaikan keinginan saya untuk mengikuti saran teman saya begitu saya pulang ke rumah. Saya hanya bisa mencari cara lain untuk bisa berkuliah.
Suatu saat, ayah saya mendekati saya di ruang keluarga, dengan ekspresi muka yang layu, terlihat terlalu banyak pikiran, bersama ibu saya. Mereka mengatakan bahwa siang harinya mendapatkan saran dari ayah teman saya untuk mengikuti bimbingan belajar di Jakarta. Saran orang tua yang penuh pengharapan terhadap anaknya yang mana pada dasarnya saya tahu bahwa mereka tidak begitu tahu akan perjalanan menuju dunia perkuliahan.
Baru saya sadari kala itu bahwa seorang anak tidak cukup meluluhkan hati orang tua, hanya dengan bantuan orang lain yang mungkin mereka anggap pantas untuk berbicara, saya terlalu muda untuk itu. Sebenarnya, mereka ragu memberangkatkan saya ke Jakarta, mereka tidak yakin saya akan kuliah di mana. Yang mereka tahu adalah keinginan saya untuk kuliah di Undip dan itu pun atas pertimbangan bahwa sebatas itu saja orang tua saya sanggup mengizinkan saya.
Saya boleh menjalani kuliah asal jangan di Universitas selain yang saya sebutkan diatas termasuk Universitas Indonesia dan saya yakinkan mereka bahwa saya tidak akan melakukan itu. Dalam hati saya tercermin bahwa saya tidak akan mengecewakan mereka, mereka menaruh harapan besar tidak pernah mereka bayangkan seperti apa, saya akan lakukan yang terbaik untuk itu sebab mereka sudah terlalu capek untuk memikirkan masa depan anaknya.
Seperti Apakah Medan Pertempuran
Entah bagaimana saya sampai di Jakarta, saya sempat merasa seorang yang diperdayakan oleh seorang teman untuk bisa menemaninya sampai tujuan dia tercapai. Tapi itu hanya sekilas dalam pikiran saya.
Satu setengah bulan saya habiskan di Kota Jakarta. Inilah untuk kedua kalinya saya ke Jakarta. Begitu asing bagi saya sebab terakhir kali adalah pada tahun 2002, itu pun hanya dalam rangka studi tour sekolah. Kami berdua tinggal di Depok sekalipun hampir tiap hari harus pulang pergi ke Jakarta untuk mengikuti persiapan SPMB. Tempat tinggal yang terpisah dan mengasingkan diri dari rekan-rekan yang dikoordinir Sintesa yang tinggal di Jakarta di mana secara rutin mereka mendapat bantuan kelas tambahan dari Sintesa. Sebenarnya ada tujuan lain saya di Jakarta yang membuat orang tua saya merestui saya untuk ke sini, yaitu memudahkan saya untuk mendaftar STAN.
Pelajaran di lembaga saya ikuti dengan sangat serius. Hampir saya tidak percaya bahkan sampai saat ini bahwa saat itu saya mengatur belajar sedemikian baik. Menyimak secara serius pelajaran di kelas dan mati-matian memahami materi sesampai di kosan. Hampir setiap harinya saya luangkan waktu di kosan untuk belajar dan melatih kemampuan menjawab soal SPMB sampai pukul satu pagi. Konseling pun saya ikuti baik kepada teman-teman Sintesa maupun di lembaga yang saya ikuti sampai pada akhirnya mendekati SPMB.
Proses selama satu bulan lebih tersebut tidak berarti tanpa gangguan. Saya hanya membawa uang seadanya, di mana saya harus berhemat untuk menggunnakanya. Terlebih lagi saya tidak memiliki alat komunikasi. Setiap kali saya akan berkomunikasi dengan yang lain, saya pasti meminjam handphone teman saya. Sangat sulit untuk mengetahui keadaan saya oleh keluarga di rumah mengingat tidak ada alat komunikasi di rumah.
“Sebesar apapun badai di hadapan kita, jangan mengelak darinya sebelum kita tahu seberapa kecil kekuatan badai tersebut bisa menghancurkan kita”
Dia Makin Dekat
Mungkin bisa di bilang sujudku semakin sering dilakukan. Itu sudah wajar bagi mereka yang sudah mendekati masa-masa kritis. Seperti halnya saat menjelang UAN, para siswa kelas XII pun turut meramaikan mushola sekolah.
Apa yang akan saya ceritakan adalah hal yang paling menentukan. Sesuatu yang abstrak namun saya percayai memberikan sebuah kekuatan besar. Entah bagaimana saya mengatakannya, saya telah membuka komunikasi yang lebar dengan Allah SWT, dengan Tuhan saya dan Anda. Doa saya selalu saya sertakan dengan usaha kerja keras. Saya berusaha untuk tidak sombong dengan hanya melakukan usaha. Saya berpikir saya bisa mati saat itu juga bila Dia menghendaki.
Ini adalah kisah yang saya alami. Suatu hari di mana masih dalam masa persiapan SPMB saya didatangi oleh seseorang berjubah serba putih. Masih sangat asing bagi saya untuk bisa menerima dia. Dia pun tahu akan hal itu sehingga sulit untuk dikatakan memaksa namun bisa dibilang mendesak mendekati saya. Dia memberi salam dan mengenalkan dirinya.
Dia kemudian mengajak saya untuk menuju mushola guna mendengarkan beberapa ceramah dan acara yang diadakan kelompoknya. Dia menyuruh saya mengajak dia memasuki kamar saya dan menunggu untuk bergegas ke mushola setempat. Sesampai di mushola, saya hanya melihat tiga orang pemuda dihadapan banyak orang berjubah putih, sudah termasuk teman saya.
Baru saya sadari dari cerita dan perkenalan mereka bahwa mereka adalah para ulama yang berpendidikan sangat baik. Diantaranya adalah seorang calon doktor, dosen STAN, dan ulama lainya. Mereka adalah golongan musyafir yang menyebarkan Islam di beberapa daerah, termasuk Jawa, Kalimantan, dan Cina. Dalam sebuah perkumpulan sederhana saya terus ingat perkataan salah seorang ulama. Dia mengatakan bahwa pertemuan anda dengan para ulama disini adalah sebuah jodoh yang sudah diatur oleh ALLAH SWT. Bukan sebuah kebetulan.
Semua yang saya ceritakan diatas hanyalah tambahan spiritual. Warna-warni dalam diri insan manusia yang mengakui akan adanya Tuhannya.
Bimbang II
Kesalahan Besar
Saya tidak menyangka sebelumnya bahwa ini akan saya hadapi. Kebodohan yang saya miliki patut mendapatkan hukuman. Keterpaksaan adalah satu-satunya jalan keluar. Ini pula yang menyadarkan saya bahwa takdir saya adalah disini, di Universitas Indonesia.
Saya tahu dan anda pun pasti sudah tahu bahwa syarat pemilihan sebuah jurusan dalam tes SPMB adalah minimal salah satu pilihan Perguruan Tinggi harus berada di lokasi di mana tempat tes diadakan. Sementara saya sudah mengantongi formulir sebagai peserta SPMB Jakarta, sepaket kertas yang dihargai Rp150.000,00, formulir yang sangat berharga bagi mereka yang hendak mengikuti SPMB.
Sulit bagi saya kala itu untuk mencari jalan keluar sementara saya sudah bertekad tidak akan berkuliah di peguruan tinggi negeri di wilayah Jakarta, apalagi di kampus biru, kampus UI. Saya jelaskan masalah rumit yang saya hadapi : hal yang mendasar saya harus menentukan pilihan jurusan, yaitu dengan dua pendekatan menurut saya. Pendekatan pertama, saya memilih berdasarkan pertimbangan kemampuan yang saya miliki atau saya memilih berdasarkan pertimbangan mana yang saya sukai. Akhirnya pilihan jurusan sudah saya tentukan, yaitu Manajemen.
Beberapa cara yang harus saya tempuh adalah sesegera mungkin kembali ke Tegal dan membeli formulir untuk lokasi Semarang, membeli lagi formulir di Jakarta untuk kategori IPC dengan tiga pilihan, atau tetap menjalankan SPMB dengan formulir yang sudah saya beli dengan mengorbankan salah satu pilihan atau hanya sebagai syarat ikut SPMB. Saya memiliki jatah dua pilihan berdasarkan formulir, sehingga idealnya minimal satu atau kedua pilihan adalah manajemen di Undip,atau Unsoed, ataukah di UNNES (sesuai rencana awal).
Waktu untuk pulang ke Tegal untuk membeli formulir di Semarang sangat tidak mungkin sebab satu atau dua hari SPMB akan segera dimulai. Saya juga butuh waktu untuk survey tempat, mengkondisikan diri, dan sebagainya. Sisa uang yang saya miliki pun tidak memungkinkan untuk membeli formulir kategori IPC dengan tiga jatah pilihan. Dengan formulir IPC tersebut saya berharap ada dua prioritas pilihan PTN di Jawa Tengah dan sisa satu pilihan jurusan IPA yang akan saya jadikan hanya sebagai syarat pelengkap saja. Itu semua sulit, kecuali satu hal : tetap dengan formulir yang ada dengan ikut SPMB di Jakarta
Saya Akan Lepas UI
Dengan pilihan jurusan formalitas di UI (yang mungkin paling pantas). Akhirnya tanpa sepengetahuan orang tua saya, saya pilih jurusan pertama Manajemen UI. Saya tentukan demikian agar manajemen UI dengan grade yang tinggi tidak akan tercapai dan hanya ada satu harapan di pilihan kedua, yaitu Manajemen Undip.
Ujian sudah usai, pengumuman hasil SPMB pun sudah ada. Saya sudah terdaftar sebagai calon mahasiswa di Perguruan Tinggi yang paling tidak saya suka, Universitas Indonesia. Perguruan yang terpaksa saya pilih dengan harapan besar saya tidak akan diterima atau saya tidak akan kuliah untuk selamanya.
Benar juga dugaan saya. Memang saya diterima di Universitas Indonesia. Sungguh hal yang mengecewakan namun mengharukan. Sangat sedih saya mengetahui hasil tersebut. Dunia seakan sudah tertutup dan tidak menerima saya lagi. Rencana besar saya gagal. Sesuai dengan dugaan saya, saya tidak di terima oleh kedua orang tua saya akan keputusan saya dalam menentukan UI sebagai salah satu pilihan SPMB. Dengan mentah-mentah dan tanpa berpikir panjang lagi saya dinyatakan “TIDAK PERLU KULIAH” oleh orang tua saya. Saya harus melepas kesempatan besar ini dan menunggu kesempatan di tahun depan di mana saya sudah bertambah usia.
Bahasa apa yang akan saya gunakan seakan belum cukup untuk memberikan pemahaman bahwa terjadi konflik batin yang sangat dalam diri saya. Rasanya saya ingin lepas menghilang dari keluarga saya. Pergi jauh dari hadapan keluarga. Usaha keras saya untuk mendapatkan prestasi yang membanggakan tidak dihargai mereka. Ucapan selamat memang terus berdatangan dari kalangan teman sekolah. Namun bukan itu yang saya dambakan. Di samping sisi saya menerima dengan sangat berat bahwa saya akan LEPAS UI.
Saya memahami kesedihan dan kebimbangan kedua orang tua saya. Mereka tidak akan mampu membimbing saya dalam pendidikan di perguruan tinggi sebesar Universitas Indonesia. Apabila saya melawan dan tetap memaksa untuk menerima hasil SPMB, maka pikir saya adalah saya sebagai seorang anak yang tidak bisa mengerti penderitaan dan tanggungan orang tua.
Benar-benar hampir seluruh pikiran saya terkuras untuk memikirkan itu. Seluruh tubuh saya terasa mati, menangis, tidak berdaya untuk menghadapi kenyataan. Tidak ada yang mampu memahami perasaan saya, begitu juga anda. Sampai saya terpikir mungkin dalam keadaan demikian saya akan terjatuh di jalan dan terilindas truk besar. Saya menjerit, tidak ada yang mendengar. Teriakan saya berupa tangisan. Air mata lah yang keluar bukan sebuah teriakan yang mampu didengar orang. Saya palingkan muka saya ketika orang lain dengan senyumannya mengucapkan kegembiraan atas keberhasilan seoran kawan.
Terlepas dari memikirkan berapa belas juta yang harus saya bawa untuk mendaftar ulang di Universitas Indonesia, saya berusaha menenangkan diri, mengasingkan sejenak mengharapkan kekuatan sang pencipta, sang pemberi bencana ini akan memberikan keajaiban berupa jalan keluar. Suatu malam, di mana siang harinya adalah satu-satunya kesempatan untuk mendaftar ulang bagi mereka yang diterima di Universitas Indonesia, saya mendatangi seorang kawan.
Seseorang yang mungkin bisa menghibur saya, seseorang yang mampu membendung tangisan saya, dan seseorang yang mau mendengar apa yang sedang saya risaukan. Namun, saya datang pada saat yang tidak tepat. “Dia tidak ada dirumah, barusan diajak beberapa teman-temanya ke salah satu teman di Suradadi” Itulah yang terucap dari pemilik rumah. Lemas tubuh saya dan saya berpikir betapa kejam perlakuan dunia pada saya. Saya pulang dan benar-benar saya berpikir mungkin saya akan terjatuh di jalan dengan tubuh yang lemas ini selanjutnya orang lain baru bisa memahami apa yang saya rasakan dan menangisi semua ini. Pupus sudah harapan saya untuk melanjutkan kuliah. Mereka yang bisa diterima di perguruan swasta dan negeri yang tak sebesar UI dapat merasakan kebahagiaan.
Sesampai di rumah saya menghadapi peristiwa yang sudah pernah terjadi tiga bulan silam. Sekali lagi saya akan mengingatkan kepada anda “Kawan akan memberikan apa yang tidak saya miliki”. Kedua orang tua saya sudah bersiap menyambut saya. Terlihat di mukanya memendam hasrat untuk mengatakan sesuatu yang akan merubah dunia yang gelap ini menjadi terang. Beliau menyesali saya pergi selama seharian dan menegaskan lagi bahwa saya besok pagi harus berangkat ke Jakarta sesegera mungkin untuk mengikuti pendaftaran ulang. Beliau katakan dengan pandangan yang penuh kesedihan, pandangan dari orang tua yang seakan merasa tidak mampu untuk memberikan kebahagiaan kepada anaknya, dan pandangan dari seseorang yang seakan telah melakukan kesalahan yang besar.
“Apa yang sedang terjadi???” Tidak lebih dari satu jam yang lalu beberapa teman sekolah, teman yang saya datangi tempat tinggalnya beberapa saat yang lalu, didampingi kawan-kawan mahasiswa UI yang tergabung dalam Sintesa mendatangi keluarga saya. Mereka berharap dapat bertemu saya dan mendengarkan serta membujuk akan apa yang sudah saya perbuat. Sekali lagi melalui orang lain, orang tua saya dapat luluh hatinya dan memahami keadaan yang sebenarnya. “Allahuakbar”, keajaiban-Mu datang, Engkau mau mendengar apa yang saya harapkan. Sangat diluar dari apa yang saya pikirkan.
Cinta Yang Dulu adalah Benci
Hari pendaftaran sudah lewat dan saya bergegas menuju Jakarta sendirian untuk yang pertama kali. Saya ke Jakarta dengan membawa Rp250.000,00 untuk bertahan selama sebulan dari uang minimal sebanyak Rp12.0000.0000,00 yang harus saya penuhi saat itu juga. Saya hanya memiliki satu alamat yang bisa saya harapkan, yaitu sekretariat Sintesa. Saya tidak ingat pasti alamat yang akan saya tuju tersebut. Saya berharap masih dapat diterima oleh pihak UI di hari yang sudah lewat dan saya tidak ingin mendengarkan pertanyaan dari panitia pendaftaran tentang apa yang sudah saya alami sebab terlalu pedih bagi dia untuk mendengarnya.
Alhamdulillah, ringan jalan saya selanjutnya. Mereka masih dapat menerima saya untuk kuliah di Universitas Indonesia. Tidak ada hambatan besar yang berarti terkait finansial. UI memahami kondisi saya apa adanya. Saya malu pada diri saya terkait pandangan saya tentang UI dulu. UI yang saya dulu saya benci, UI yang saya anggap penampung mereka yang bermewah-mewahan dan UI yang mengharapkan pemasukan dari mahasiswanya adalah salah besar. Apabila ada seseorang bertanya kepada saya tentang kampus ini maka saya akan jawab dengan tidak ada keraguan sedikitpun bahwa ini adalah Universitas Terbaik di Indonesia, kampus yang memahami adanya penderitaan di pedalaman dan kalangan bawah dan kampus yang memahami perbedaan di Indonesia.

Depok, 29 November 2008
Pukul 22.08 WIB
Rakhmat Lukmeidi
S1 Fakultas Ekonomi / Manajemen 2006
http://lukmeidi.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar