Selasa, 10 Juli 2012

KISAH TRAGIS SEORANG MAHASISWA


Saya punya pacar, beda dua tahun dengan saya di jenjang kuliahnya. Dia orangnya pintar berpendirian kuat, karena pendiriannya yang kuat itu dia susah untuk di nasehati bahkan oleh orang-orang terdekatnya termasuk orang tuanya dan khususnya oleh ibunya. Akan tetapi dia selalu ingin membahagiakan orang tuanya dengan kepintarannya. Sejak sekolah SD sampai SMA selalu mendapat rangking 3 besar. Ini cukup membanggakan orang tuanya dan keluarga kakek neneknya. Selain itu dia sejak awal pintar menghafal dan memahami pelajaran matematika di jenjang SD sampai SMA. Sejak kecil, cita-citanya menjadi dokter. Kami mulai pacaran saat dia awal semester dua di kuliah.

Nah tahun lalu dia baru masuk kuliah di jurusan yang sebenarnya tidak dia inginkan, hal ini terjadi karena sebelumnya dia nyoba di jurusan kedokteran tidak di terima melalui dua buah tes , PMDK UNDIP dan UM-UGM. Dan pada saat itu Karena merasa takut gagal dan persiapan SNMPTN yang kurang , dia ikut PMDK di ITS jurusan matematika, akhirnya dia di terima., akhirnya orang tua dan pihak keluarganya menyarankan untuk mengambil hasil PMDK yang diterima di ITS tersebut.

Sejak awal di ITS dia sudah tidak ada niatan untuk mengikuti perkuliahan karena memang tekadnya di kedokteran. Akan tetapi karena paksaan dan harapan besar orang tua serta kakeknya dia menuruti walau setengah hati. Permasalahan di mulai saat menginjakkan kaki di ITS. Sebagai Mahasiswa Baru, wajar jika di kader oleh senior-senior agar dapat berpikir kritis dan harapannya aktif di organisasi yang di ikuti seniornya khusunya HMJ. Pada masa pengkaderan, karena dia memliki latar belakang organisasi yang aktif sejak SMP, dia menjadi frontier pada pengkaderan, aktif mengajak teman-temannya untuk mengikuti pengkaderan dan menjalaninya sampai usai, meskipun pengkaderan berjalan dengan sulit baik dari segi yang dikader dan yang mengkader. Walhasil pada semester 1 nilai turun dibandingkan dengan saat SMA, meskipun masih memiliki IP 3, dia merasa gagal karena sejak SD sampai SMA selalu berada di jajaran rangking terdepan dengan nilai yang baik. Saat itu dia cerita , tidak kuat di ITS karena memang merasa tidak minat dan ikut aktif pengkaderan sebagai pengalih perhatian dari ketidak senangannya dengan kuliah di matematika ITS. Maka saya beri nasehat, bahkan hal tersebut saya utarakan ke orang tuanya , untuk cuti pada semester 2 dan fokus mempersiapkan tes SNMPTN tahun ini ( 2011 ) dengan tidak mengikuti pengkaderan dan perkuliahan. Akan tetapi, dia tidak berani melakukan hal tersebut karena memiliki pertimbangan-pertimbangan yaitu : 1. Dia merasa mampu memperbaiki nilai asalkan fokus pada kuliah dan besar harapan pengkaderan akan selesai pada semester 1 ; 2. Merasa kasihan dengan orang tuanya dan kakeknya yang memiliki harapan besar terhadap dia untuk terus menjalani perkuliahan ; 3. Menurut dia ibunya merasa malu jika dia sampai cuti dan tidak kuliah karena di rumah akan di tanya oleh kakek dan tetangga-tetangganya mengingat dia kuliah di PTN yang cukup ternama ; 4. Dia ikut perkuliahan sebagai penambah materi dia mempersiapkan menghadapi SNMPTN yang akan dilakukannya.

Akhirnya perkuliahan semeser 2 dia lakukan , dan semua tekad dan gambaran rencananya berubah total, karena faktor-faktor yang menurut saya dan dia tidak penting, cenderung merusak dan sangat memaksa. Adapun faktor tersebut adalah kegiatan pengkaderan tidak selesai dan memaksa bahkan kegiatannya semakin banyak menguras waktu, tenaga dan pikiran. Sehingga dia tidak bisa memanajemen waktunya dengan baik, bahkan karena terforsir oleh pengkaderan dan apa yang dia lakukan, dia usahakan dan hal-hal yang dia terima dalam pengkaderan membuatnya tidak memfokuskan diri pada apa yang telah direncanakan. Saya sering menasehati agar tetap fokus pada rencana untuk kuliah dan menyiapkan SNMPTN, akan tetapi dia malah tidak begitu peduli dan lebih peduli ke pengkaderan dengan iming-iming segera selesai.

Rasa kekecewaan dia berlanjut karena pengkaderan tidak kunjung selesai dan sangat menyita waktu, konsentrasi, dan tenaga. Sehingga dia tidak lagi mempedulikan persiapan SNMPTN dan kuliahnya, seringkali tidak belajar dengan alasan tidak mood dan kecewa dengan pengkaderan yang menurutnya memiliki alur yang simpang siur di jurusannya. Bahkan dia sempat menyesal , marah-marah, karena pengkaderan terus membelenggunya dan membuatnya putus asa dengan hidupnya. Saya di sini sangat takut dan terus-menerus memberinya nasehat, motivasi, saya cerita ke orang tuanya di rumah dan dia masih bisa menyimpan kekecewaannya pada hidupnya sendiri.

Sekitar bulan april kegiatan pengkaderan selesai, dan dia di baiat menjadi warga. Saat itu saya mengingatkan untuk mempersiapkan SNMPTN karena waktunya sudah cukup dekat, di tambah lagi beban-beban kuliah yang banyak. Dia menyanggupi dan mempersiapkan SNMPTN dan mengorbankan perhatiannya ketika dikelas , dia tidak memperhatikan perkuliahan dan hanya belajar SNMPTN. Akan tetapi permasalahan lain yang menyita waktu tetap ada, yaitu setelah pengkaderan di adakan pembaiatan dan ada kegiatan wajib pasca pengkaderan yang banyak membuatnya kewalahan dan konsentrasinya terpecah. Hingga mendekati pembukaan pendaftaran SNMPTN dia merasa menyesal dan tidak memiliki pilihan untuk menolak hal-hal yang berkaitan dengan pembaiatan dan pengkaderan serta tidak memiliki pilihan akibat dampak konsentrasi yang terpecah. Dia merasa sangat menyesal dan semakin tidak betah di ITS dan hanya 1 yang dia pikirkan, yaitu ingin keluar.

Akhirnya dengan berbagai pertimbangan saya menyarankan dia memilih jurusan SNMPTN yang tidak terlalu sulit. Dengan keingnan dan cita-cita yang tinggi dan rasa tidak ingin gagal, dia memilih di bidang kesehatan meski bukan kedokteran di memilih jurusan psikologi untuk pilihan pertama dan jurusan pilihan yang kedua, dia bingung karena tertekan dengan keadaan mendesak, persiapan yang kurang, serta kegiatan di kampus.

Saat itu, dengan berbagai pertimbangan dan keinginan dia yang sangat kuat saat itu yaitu ingin keluar dari ITS, dia saya sarankan memilih jurusan bisnis pangan UB, karena daya tanpung banyak dan jurusan yang baru dibuka tahun ini. Dua pilihan ini saya ceritakan ke ortunya beserta segala keluh kesah dan rasa kesedihan yang di alami pacar , saya di tanya mengenai masa depan dan prospek kerja di psikologi dan bisnis pangan. Karena orangtuanya merasa pesimis dan tidak jelas menjadi apa setelah lulus, akhirnya saya jelaskan bahwa pskologi bisa bekerja di manapun akan tetapi cukup sulit mengingat banyak persaingan dan niminya persiapan yang dilakukan. Kemudian pada pilihan kedua yaitu bisnis pangan, saya menceritakan prospek kepada pacar dan orangtuanya bahwa ilmu berbisnis dapat dipakai di segala sektor pekerjaan meski dengan spesifikasi pangan, menurut saya ilmu bisnis tetap ada, malah lebih khusus mengenai pangan. Saya rasa di masa depan ketahanan pangan merupakan bidang bisnis yang segar dan potensial di Indonesia. Atas pertimbangan itu, pacar saya mau menjalani di kedua pilihan itu jika lolos SNMPTN karena dia benar-benar tidak betah kuliah di ITS dan sistem perkuliahannya yang menurutnya sangat menyita tenaga, pikiran, waktu yang membuatnya kewalahan serta kondisi lingkungan sosial organisasi di jurusannya yang menurutnya sangat buruk.

Persiapan SNMPTN yang minim, akhirnya dia mengikuti SNMPTN. Sebelum pengumuman, dia menginginkan test lain dengan jalur reguler untuk masuk di kedokteran sesuai dengan cita-citanya yang ternyata dia selalu pendam dan sangat dia inginkan. Kami browsing-bowsing informasi dan menyesuaikan dengan kemampuan biaya, akhirnya pacar saya memutuskan untuk ikut seleksi masuk UI yaitu SIMAK UI dengan mengambil pilihan yaitu kedokteran dan kesehatan masyarakat, semuanya di UI.

Saat menjelang test , dia terbebani oleh keinginan dan cita-citanya, tekanan orang tua yang ingin dia tetap di ITS karena selama 1 tahun telah banyak memakan biaya yang meliputi biaya kuliah, SPP, dan uang saku. Sehingga dia stres dan tidak belajar. Akhirnya SIMAK UI hanya belajar 1 malam.

Meskipun demikian, sebelum SIMAK UI, pengumuman SNMPTN telah keluar,dan dia masuk di bisnis pangan UB , tepat dengan prediksiku dengan melihat segala kondisi dan kesiapannya saat itu. Awalnya saya lega, apa yang dia inginkan tercapai, yaitu bisa keluar dari ITS karena di terima di bisnis pangan UB. Akan tetapi pada akhir-akhir ini semua situasi berubah total, saya yakin dia mengalami stres atas beban pikiran dari pihak luar seperti keinginan keluarganya, dan beban dari dirinya berupa keinginan kerasanya untuk masuk di bidang kedokteran bahan di PTN favorit yang menurutnya seperti UGM, UNAIR, UI.
Semenjak itu pikiran , dan sikapnya selalu tidak terduga dan sangat menakutkan, seperti sangat ingin minggat/kabur ( pergi dari rumah )dan ingin mati. Ini dia katakan melalui SMS kepada saya berkali-kali. Saya sangat sedih, saya ingin ke tempatnya membicarakan ini baik-baik tetapi belum ada waktu yang tepat karena saya sendiri sekarang sedang melakukan coop p enelitian di BPPT jakarta, sedangkan dia di rumahnya di Magetan. Komunikasi dan saya menasehatinya , mendengar keluhannya, lewat SMS dan telepon. Hingga akhirnya keadaan tersebut semakin memuncak dan dia berkeputusan untuk tidak kuliah di tempat yang tidak dia cita-citakan. Artinya meskipun di terima di bisnis pangan UB dia tidak mengambilnya.

Saya mulai cemas, dan hanya berharap banyak dapat di terima melalui SIMAK UI meskipun persiapannya sangat minim. Akan tetapi, selama berhari-hari apa yang selama ini dia rasakan, dia alami saya rasa sudah memuncak dan dia selalu mengeluh dan bertindak yang sangat mengkhawatirkan saya. Seperti ingin mati, tidak pernah berkomunikasi dengan orang tuanya meski dia dirumah dan sering menonaktifkan HP agar saya tidak bisa menghubunginya. Saya sangat takut, dengan keadaan dia.
Kemudian atas persetujuan dan permintaannya, saya menghubungi orang tuanya lewat telepon, meskipun pada awalnya saya berniat ke Magetan sebentar untuk membicarakan ini dengan pihak keluarga, dan dia agar tidak terjadi ketidaksinambungan kedua belah pihak. Di telepon saya menceritakan semua yang dia alami dan yang dia inginkan , dan saya menyarankan agar orang tuanya mau mengikuti keinginannya untuk tidak lagi di ITS maupun mengambil bisnis pangan di UB, dengan harapan dia masih punya semangat untuk belajar mempersiapkan SNPTN ( 2012 ) jika di SIMAK UI gagal. Keinginan itu di kabulkan orang tuanya, akan tetapi terdapat masalah. Orang tuanya tidak berani membicarakan ini ke kakek-neneknya mengingat rumah kakek-neneknya berada satu desa dengan rumah pacar saya. Jika sampai tahu dia tidak kuliah dan berada di rumah, justru membuat kakek-neneknya sedih dan malah memicu penyakit mereka yaitu darah tinggi. Akhirnya saya menawarkan solusi, kalau begitu pacar saya biarkan saja tidak kuliah jika tidak diterima di SIMAK UI dan menetap di luar kota serta selama waktu itu dia bekerja, dengan berwirausaha kecil-kecilan atau kerja ringan lainnya untuk membantu meringankan beban orang tuanya selama dia berada di luar kota sambil memfokuskan diri terutama untuk mempersiapkan SNMPTN 2012.

Apa yang saya bicarakan melalui telepon, awalnya di sepakati oleh pacar saya. Akan tetapi, selang waktu yang tidak begitu lama dia menolak dan sangat memaksa harus lolos SIMAK UI, ini di ketahui orang tuanya dan saya. Jujur saya dan orang tuanya merasa cemas ,mengingat persiapannya di SIMAK UI sangat minim. Saya terus menerus menasehatinya agar jangan gegabah dalam bersikap dan cenderung memaksakan takdir , saya terus menasehatinya untuk mengingat Allah dan terus berdoa kepadaNya agar lolos, serta tetap menjaga motivasi dan semangat. Akan tetapi dia tidak menggubris, dia sudah tidak ingin mendengar nasehat-nesehat siapapun dan malah memusuhi orang tuanya yang dibilang membuatnya menjadi seperti saat ini. Terlebih keputusan orang tuanya untuk apapun yang terjadi dia jangan terlihat dirumah, karena permasalahan ini di rahasiakan dari keluarga besar kakeknya.

Keputusan pacar saya berubah-ubah terus dan tambah semakin menjadi aneh, saya bingung harus berbuat apa. Saya terus menasehatinya, membicarakan baik-baik tetapi dia sudah sangat stres. Saya bingung untuk memperbaiki kondisi kejiwaannya. Malah dengan keputusan ortunya untuk tidak tinggal di rumah, dia setuju tapi tidak 1 kota dengan saya di Surabaya. Saya mengijinkannya , dan saya persilahkan di mana yang disuka, tapi dia juga tidak mau bekerja. Saya juga mengalah dan mengijinkannya karena saya yakin pasti orang tuanya tiap bulan memberikan uang saku untuk hidupnya. Mendengar pendapat saya yang demikian, dia berdalih tetap tidak mau, karena jika tidak diterima di SIMAK UI , artinya dia tidak kuliah dan dia tidak mau menerima uang saku.

Saya menjadi sangat bingung, apalagi dia orang yang keras. Di SMS dia juga berkata-kata kurang sopan , dan menyesal serta menyalahkan takdir. Saya bilang bahwa sebenarnya coba untuk intropeksi diri , kenapa sampai susah begini, jangan langsung menyalahkan orang lain bahkan menyalahkan bahwa kondisi takdirnya saat ini sangat tidak adil untuknya. Dengan begini justru dia menyalahkan Allah, saya takut dia malah durhaka kepada Allah. Dia bilang karena Allah tidak menghargai usahanya selama SD sampai SMA yang selalu berada di tiga besar di kelas, tapi mengapa dia tidak masuk di kedokteran di PTN favorit. Saya menyuruhnya istigfar dan intropeksi, akan tetapi malah semakin tidak mempedulikan nasehat siapapun dan berkata tidak membutuhkan siapa-siapa. Bahkan SMS ingin pergi, minggat hidup sendiri jika kesusahan akan bunuh dari saja atau berkerja apapun termasuk menjual diri. Saya sangat takut, dengan tingkat stres dan keinginannya saat ini. Membuatnya semakin tidak terkendali.

Hingga akhirnya dia bilang sudah tidak membutuhkan siapa-siapa, karena menilai tidak ada yang mengerti apa yang dia inginkan, berandai-andai ingin dan harus masuk kedokteran di PTN favorit tahun ini dengan cara apapun, berandai-andai dapat masuk kedokteran di PTN favorit lewat jalur mandiri padahal kami bukanlah orang yang mampu. Dia memtuskan untuk mengakhiri hubungan pacaran dengan saya. Saya sangat terpukul dan tidak ingin ini terjadi, saya bingun karena jika putus , siapa yang akan menjaga dia ? sahabat-sahabatnya ? saya rasa semua teman-temannya tidak mengetahui solusi dan hanya menghibur. Orang tuanya pun begitu di anggapnya sebagai musuh. Saya bingung, bagaimana jika dia sudah tidak mendengar siapapun, dengan kondisinya dia bisa saja berbuat nekad seperti apa yang dia katakan seperti bunuh diri, minggat, dan sebagainya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar