Selasa, 10 Juli 2012

PERJUANGAN GANDRIE MENUJU TEHNIK SIPIL ITB

TEKNIK SIPIL
Terkadang aku salut dengan teman-temanku yang sejak SMA sudah membulatkan tekad untuk masuk teknik sipil ITB. Alhasil, mereka dengan bangga mendapatkan titel mahasiswa teknik sipil ITB sekarang.

Sistem pendidikan di ITB mengharuskan mahasiswa baru untuk melewati TPB (Tahap Persiapan Bersama) selama satu tahun. Jadi, sebelum masuk ke program studi yang ilmunya lebih spesifik, mahasiswa baru digodok terlebih dahulu dengan kemampuan dasar seperti kalkulus, fisika, kimia, olahraga, tata tulis karya ilmiah, dan lain-lain.

Untuk masuk ke program studi teknik sipil, seorang harus memilih dan mendapatkan FTSL (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan) sebagai TPB-nya. FTSL sendiri terdiri dari tiga program studi: Teknik sipil, teknik lingkungan, dan teknik kelautan. Di akhir tahun pertama akan ada penjurusan untuk memilih salah satu di antara tiga program studi tersebut berdasarkan minat dan indeks prestasi.

Apa cerita seorang Gandrie?

Aku sadar bahwa aku tidak piawai dalam menyelesaikan soal fisika. Aku tidak suka dengan fisika. Kelas 2 SMA, aku mulai mencari informasi tentang perguruan tinggi mana yang cocok untukku meniti ilmu. Singkat kata, aku memilih teknik industri ITB. Pikiranku saat itu, jurusan teknik industri pasti akan sangat menarik karena menggabungkan ilmu teknik dengan bumbu manajemen untuk megoptimalkan suatu industri.

Aku membulatkan tekad untuk masuk ke teknik industri ITB.

Berarti aku harus masuk FTI karena jurusan yang aku inginkan ada di fakultas itu. Sejak awal kelas 3 SMA, sebuah poster bertuliskan "Teknik Industri ITB! Here I Come!" terpampang dengan megah di kamarku. Untuk masuk ITB, ada dua kesempatan yakni USM 1 dan USM 2. Tidak mau (lebih) memberatkan kedua orang tuaku tentang uang, aku hanya mengambil USM 2, terpusat, di Bandung, di ITB.

Aku hanya memiliki satu kesempatan.

Hidup adalah perjuangan benar-benar aku rasakan selama kelas 3 SMA. Belajar di tempat bimbingan hingga larut malam. Mengerjakan buku tes potensi akademik berkali-kali. Mengikuti try out berulang kali. Baiklah, soal USM sudah ada di hadapanku. Dua hari ujian saringan masuk itu berlangsung. Selesai USM, aku hanya bisa pasrah.

Penuh pengharapan aku memasukkan nomor registrasi apakah aku diterima atau tidak di ITB. Seandainya diterima, di fakultas apa? Pilihanku: FTI, FTTM, dan FTSL. Enter. Aku diterima, aku diterima di FTSL, bukan FTI. Perasaanku layaknya permen nano-nano saat itu. Manis, asam, dan asin, ramai rasanya, semuanya ada. Entah, aku sedih dan kecewa, namun juga senang.

Ibuku berkata bahwa semua keputusan ada di tanganku. Aku ambil FTSL itu. Di akhir TPB, aku memilih teknik sipil sebagai pilihan pertama. Aku sadar bahwa teknik sipil penuh dengan mekanika, fisika, dan teman-temannya itu. Teknik lingkungan ada biologi dan kimia, aku tidak suka. Teknik kelautan jauh lebih sulit menurutku. Oleh karena itu aku (lebih) memilih teknik sipil.

Benar saja, aku disuguhi dengan mata kuliah struktur yang penuh dengan gaya, momen, geser, dan lain-lain. Sungguh bukan diriku. Terus bertahan, aku melihat peluang ternyata ada bidang teknik sipil yang tidak menghitung jembatan dan bangunan tinggi itu. Ada ilmu teknik sipil yang berbicara tentang sistem dan manajemen. Sebut saja transportasi dan juga manajemen dan rekayasa konstruksi.

Aku condong ke dua bidang itu untuk tingkat akhir nanti. Tidak lagi aku mau berkutat dengan ke-strukturan. Walaupun demikian, aku tidak menjamin diriku akan berkecimpung di dunia teknik sipil di masa depan. Entah mengapa. Yang jelas, aku mau dan harus bisa melanjutkan pendidikan S2 di luar Indonesia tanpa campur tangan suntikan dana dari orang tua. Apa yang mau aku dalami? Entah. Mungkin manajemen, mungkin transportasi, mungkin perencanaan kota dan regional, dan masih banyak mungkin-mungkin yang lain.

Aku bangga menjadi mahasiswa teknik sipil ITB.

Guide me, Dear Allah. Show me your light, please.
Learning from the past, managing the present, shaping the future.

*

Inspirasi tulisan ini berawal di kuliah ke-sekian analisis struktur dengan metode matriks. Aku sudah sangat jenuh dengan variabel-variabel yang menurutku tidak nyata itu.

We do all have choices, right? And we're the decision maker of our life journey. Mine not structure. Period.

2 komentar: