Selasa, 10 Juli 2012

PENGALAMAN ZULHANIEF - UI AKUTANSI

Zulhanief Matsani (Akuntansi 2005)
“Tulisan ini (sesungguhnya) ditujukan kepada teman-teman kelas 3 SMA
yang akan memasuki jenjang perkuliahan”
Dari Sebuah Kesadaran
Ada sesuatu yang kadang aku lupa syukuri ketika itu. Ketika aku memulai menggambar masa depan setelah sekolah menengah. Ketika tidak lagi menjadi siswa dan akan beranjak memasuki dunia baru yang aku sendiri sama sekali belum mengenalinya. Dunia itu bernama kampus.
Pertama, kesempatan untuk hidup dan terus diberi karunia berupa kesehatan dan kesempatan serta kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Aku yakin, tidak semua orang memilikinya. Memiliki teman-teman komunitas yang mendukung untuk aktif dalam kegiatan organisasi di SMA (waktu itu, aku aktif di OSIS dan Rohis).
Aku memiliki teman-teman yang sangat bersahabat untuk diajak berdiskusi dan sama-sama mengerjakan tugas serta mau dan sangat kooperatif untuk diajak belajar mempersiapkan UAN (Ujian Akhir Nasional, mungkin sekarang namanya sudah berubah, pen.) dan SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, mungkin sekarang namanya juga sudah berubah juga, pen.). Tidak lupa, detik-detik itupun, aku sangat bersyukur menemukan pula teman-teman yang baik dan selalu sama-sama melakukan hal yang positif, entah kegiatan itu bernama doa bersama menjelang ujian, saling ajak untuk salat dhuha di Mushala Baitul ‘Ilmi, sampai sekedar kumpul bareng tiap pekan untuk sekedar silaturahim satu sama lain.
Kedua, kesempatan untuk diberi kesadaran. Bahwa hidup tidaklah berarti selesai setelah kita lulus SMA. Lebih dari itu, kehidupan sesungguhnya mungkin baru dimulai ketika kita selesai menamatkan bangku sekolah menengah atas tersebut. Kehidupan yang sebenarnya. Ketika kita nantinya dituntut untuk lebih mandiri dan menghilangkan perlahan tetapi pasti ketergantungan terhadap orangtua dan orang-orang lain di sekitar kita. Maka, apa yang ada di benakku ketika itu adalah, berarti harus ada yang dipersiapkan untuk menghadapi tangga tersebut, tangga yang nantinya membawa kita menuju dewasa. Bangku kuliah namanya: kelak aku menemukan nama itu beberapa saat setelahnya.
Menimbang-nimbang Pilihan
Maka, berbagai rencana pun disusun. Mau kuliah di mana? Jurusan apa? Taktik dan rencana pun mulai disusun. Ada berbagai pilihan jalan yang terlintas ketika itu. Masuk STAN, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, atau kuliah di Jakarta/Depok, di PTN terbaik macam Universitas Indonesia, ataupun cukup kuliah di PTN biasa saja yang relatif dekat dengan dengan kota Tegal, semisal kuliah di Purwokerto (Universitas Jenderal Soedirman, Unsoed) ataupun di Semarang (Universitas Diponegoro, Undip). Beberapa kali juga sempat terlintas untuk kuliah di Yogyakarta, UGM, Universitas Gadjah Mada.
Beberapa pertimbangan pun dibuat. Masuk STAN pertimbangannya sangat jelas. Jadi pegawai negeri, setelah lulus langsung dapat kerja, kuliahnya tergolong lebih mudah menurutku ketika itu dibandingkan dengan kuliah di PTN tentunya. Minusnya, ketika itu saya berpikir tentang bagaimana membentuk semangat untuk berkompetisi jika kuliah pada tempat yang cenderung birokratis. Mungkin aku tak akan dapat merasakan pengalaman-pengalaman yang begitu berharga ketika nanti kuliah di sana. Tak ada masa yang menggelorakan semangat dan pengalaman yang luar biasa yang bisa dihadapi di sana. Itu pikirku secara sederhana ketika itu.
Di Jogja, aku tidak melihat ada jurusan yang tepat di sana. Kalau masuk teknik sementara kemampuanku sendiri tidak terlalu baik dalam fisika dan beberapa bidang eksak lainnya, aku sendiri merasa kurang yakin untuk dapat bertahan di sana. Lagipula, menurut pandanganku ketika itu, Jogja bukan lagi hadir sebagai kota pelajar yang begitu ramah (ini pandangan subjektif aja). Mungkin kota itu juga telah tercemari oleh berbagai pemberitaan yang menyebutkan bahwa banyak praktek-praktek asusila yang melibatkan remaja dalam jumlah yang sangat signifikan berlangsung di kota itu.
Kuliah di Semarang ataupun Purwokerto, aku berpikir kedua kota itu terlalu dekat dengan Tegal. Bisa-bisa pulang tiap Minggu, pikirku pendek ketika itu. Jadi, aku mungkin tidak bisa mengembangkan diri di sana karena pikiran ketika akhir pekan akan selalu tertuju pada pulang ke rumah terus. Hal itu, menurutku sangat tidak baik untuk membentuk mentalitasku sebagai orang yang masih muda dan memerlukan tempat untuk lebih independen dari ketergantungan terhadap siapapun.
Jadilah pilihan itu tertuju ke Jakarta, tepatnya ke Universitas Indonesia. Faktor lain yang mendorongku ke sana, salah satunya mungkin – walaupun saya yakin ini bukan faktor utama – adalah adanya kakak di sana, yang hanya selisih satu tahun.
Tetapi jelas, pilihan itu tidak berhenti sampai di sini. Aku, ketika itu, beranggapan bahwa aku juga harus memilih jurusan apa yang sebetulnya cocok untuk kumasuki. Beberapa pilihan yang terlintas ketika itu adalah Ilmu Komputer dan Akuntansi. Mengapa Ilmu Komputer? Waktu itu mungkin sedikit banyak, ketertarikan mengambil ilmu komputer juga karena kakakku kuliah di jurusan itu juga. Selain itu, mungkin ada sedikit euphoria kenangan pra-Olimpiade Komputer tingkat Jawa Tengah yang baru kuiikuti ketika akhir kelas dua ketika itu. Di jurusan Ilmu Komputer juga tidak ada pelajaran Fisika, pikirku ketika itu. Jadi, kalau sekedar Matematika mungkin masih bisa diikuti.
Pilihan selanjutnya adalah jurusan Akuntansi. Mengapa Akuntansi? Pilihan itu sebetulnya bukan sebuah pilihan yang populer ketika itu. Mengapa? Sebagai anak dari jurusan IPA ketika SMA, pilihan itu terasa tidak wajar di mata teman-teman kelasku. Rata-rata, ya, kalau ambil IPA ketika di SMA berarti mengambil jurusan eksak macam MIPA, Teknik, ataupun Kedokteran.
Pandangan salah yang akhirnya tidak aku turuti kemudian. Sebagai tambahan informasi, ketika itu, ketika masa SMA-ku, terlebih di kelas tiga, ada anggapan jurusan keren atau tidak. Terkadang, aku juga sering salah menganggap suatu jurusan setelah kuliah. Misalnya, ketika itu, kalau orang masuk dari jurusan kedokteran, hal itu dianggap sesuatu yang luar biasa. Dokter, dokter, dan dokter. Menjadi dokter sepertinya harus menjadi impian seseorang yang masuk ke jurusan IPA. Sesuatu yang sangat salah yang kusadari saat itu.
Pada akhirnya aku memutuskan memilih Akuntansi di urutan pertama pilihan SPMB. Mengapa Akuntansi. Pertama, nampaknya jurusan itu, menurutku sangat cocok untukku ketika itu. Aku pernah mengikuti kursus dasar Akuntansi yang disubsidi sekolah. Untuk pelajaran ekonomi, aku juga paling tidak, punya keyakinan, untuk mudah mempelajarinya. Kedua, adanya tantangan. Dengan persaingan yang sangat ketat untuk masuk jurusan Akuntansi UI, hal itu menurutku juga merupakan sebuah tantangan yang harus dicoba. Kompetisi, menurutku pada masa itu, akan menjadikan kita seseorang yang tangguh.
Merumuskan Strategi
Bedanya impian dengan cita-cita adalah satu hal, tindakan. Maka, aku masih bermimpi saja sebenarnya ketika masuk ke Akuntansi UI. Untuk mewujudkannya menjadi cita-cita, aku mulai merumuskan strategi, bagaimana sich cara masuk UI. Beberapa poin yang kususun ketika itu, menemukan dua jalan bagiku yang mungkin untuk masuk UI, PPKB (Program Pemerataan Kesempatan Belajar, populer disebut PMDK) dan SPMB.
PPKB banyak faktor keberuntungannya. Agak susah mengandalkan jalur ini. Akhirnya, berpikir cepat, berarti harus siap SPMB. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan agar siap SPMB? Belajar soal-soal SPMB tahun-tahun sebelumnya. Maka dimulailah ‘tindakan’ itu. Di sela-sela belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolah yang menumpuk, aku menyempatkan waktu untuk belajar soal-soal SPMB. Kebetulan waktu itu juga tidak ikut program bimbingan belajar dengan dua alasan: membuang uang dan melelahkan. Jadilah belajar soal yang dilakukan adalah belajar secara otodidak. Selanjutnya, karena tujuannya Akuntansi UI, maka harus lebih banyak belajar materi-materi SPMB yang untuk IPS, seperti Ekonomi, Geografi, dan Sejarah. Maka, sejak saat itu dimulai juga saat-saat bergerilya mencari soal-soal SPMB di anak-anak IPS plus materi pelajaran anak IPS seperti ekonomi dkk. Fokus belajar ketika itu adalah mengerjakan soal dan kemudian diulang lagi. Terus, sampai bosan.
Malam, tengah malam, dan menjelang dini hari. Itulah waktu yang tepat bagiku untuk belajar mempersiapkan masa depan, belajar soal-soal SPMB itu. Akibatnya, terkadang di kelas ngantuk, terpaksa tidur sore untuk menyimpan energi, dan bahkan tertidur saat belajar malam. Hal yang menurutku wajar, karena kelelahan tak bisa dipaksakan.
Satu hal lain yang menarik adalah jika kita tidak bersemangat melakukan sesuatu, maka carilah pesaing untuk melakukan hal tersebut. Misalnya nich, ketika aku malas belajar untuk SPMB, maka aku ketika itu kemudian mencari beberapa teman yang sama-sama mau diajak berkompetisi untuk belajar SPMB. Jadilah, terkadang malam minggu, kami habiskan dengan berkumpul bersama-sama. Tidak saja sekedar ngobrol, tetapi juga untuk sekedar me-review materi-materi SPMB sulit di Wisma SMAnsagal. Kebetulan ketika itu ada dua pakar mata pelajaran yang sangat qualified, matematika dengan susilo dan fisika oleh acis. Jadilah kedua guru itu menjadi rujukan bagi beberapa teman yang semangat untuk belajar.
Bertemu Sintesa
Sintesa ketika itu dikenal di sekolahku karena dua hal, yaitu kakak-kakak Sintesa sering datang ke sekolah untuk melakukan briefing, yang isinya semacam pengarahan dan memberi motivasi bagi anak-anak kelas 3 yang ingin melanjutkan kuliah. Selain itu, setiap tahun, setahuku ketika itu kakak-kakak Sintesa setiap tahunnya pasti mengadakan try out paling besar se-kota Tegal di GOR Wisanggeni.
Ketika kakak-kakak Sintesa datang ke sekolah untuk briefing, perasaanku ketika itu, alangkah senangnya menjadi mahasiswa Universitas Indonesia yang punya jaket kuning yang keren. Berbeda dengan ketika kakak-kakak Universitas lain yang datang, ketika kakak-kakak dari UI yang datang, biasanya teman-teman akan langsung mengenali, itu kakak-kakak dari UI karena jaket kuningnya yang khas.
Ketika kelas tiga, kedekatan dengan Sintesa makin terasa. Kebetulan aku ditunjuk menjadi ketua kelas dan penanggungjawab untuk penyebaran tiket di kelas 3 IPA 3. Karena berhasil menjual banyak tiket, aku berhasil mendapat bonus mendapatkan tiket itu cuma-cuma.
Kedekatan dengan Sintesa berlanjut ketika kakak-kakak UI menyelenggarakan kegiatan pertamanya, yaitu tour de UI. Kegiatan ini merupakan rangkaian kunjungan ke kampus UI selama 2 hari untuk melihat suasana kampus dan merasakan kehidupan kampus. Ketika itu, aku juga ikut acara itu sehingga bertambah dekatlah aku dengan Sintesa.
Dari Try Out ke Ujian Masuk
Sepulang dari acara tour de UI, semakin tinggi keinginanku untuk memasuki UI. Tekad ini sudah semakin bulat. Harus masuk UI jurusan Akuntansi. Maka, berbagai macam tawaran PMDK (jalur masuk Universitas negeri tanpa tes) yang ditawarkan dari Universitas selain UI, tentunya yang memenuhi persyaratan untukku, tidak menggoyahkan keinginanku masuk UI.
Langkah selanjutnya yang kutempuh adalah dengan mengikuti sebanyak mungkin try out yang ada. Hampir setiap acara try out aku ikuti, mulai dari try out yang diselenggarakan oleh Sintesa, anak-anak Jogja (yang diselenggarakan di SMK Karanganyar), try out anak-anak Semarang (di Gedung Bani Saleh), try out mahasiswa STAN yang tergabung dalam IST (Ikatan Siswa Tegal), dan try out lain yang mungkin sudah aku lupakan.
Beberapa pelajaran yang didapat dari try out antara lain: try out membuat kita terbiasa dengan kondisi ramai saat mengikuti ujian masuk, try out juga membuat aku selalu berusaha mengukur kemampuan dengan teman-teman lain, paling tidak di tingkat kota. Makin banyak ikut try out, menurutku ketika itu, makin terbiasa kita mengerjakan soal dan makin paham aku bagaimana mengalokasikan waktu untuk mengerjakan sebanyak mungkin soal dalam waktu yang ditentukan dan dengan kemungkinan jawaban benar yang semakin banyak.
Setelah mencoba banyak try out, akhirnya aku mencoba satu ujian masuk sebuah perguruan tinggi negeri terbaik di Jogja, dengan mengambil formulir IPA, dan pilihan pertama teknik elektro. Alhamdulillah diterima. Setelah itu, untuk memantapkan langkah, setelah UAN (Ujian Akhir Nasional), aku mengikuti bimbingan belajar khusus untuk persiapaan SPMB di Jakarta yang hanya satu setengah bulan saja.
Pada akhirnya, aku mengikuti SPMB di kota Semarang, tepatnya di Kampus Undip Tembalang di Fakultas Peternakan. Hasilnya didapat sekitar sebulan kemudian. Alhamdulillah, aku diterima di pilihan pertama: Akuntansi UI. Syukur yang luar biasa, aku panjatkan ketika itu, kepada Allah SWT.
Kembali pada Kesadaran
Itu ceritaku ketika itu, cerita yang telah menjadi kereta kenangan yang telah mengantarku sampai di sini sekarang (ketika tulisan ini dibuat), seorang Zulhanief Matsani yang menjadi mahasiswa semester 7, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, jurusan Akuntansi. Bagaimana dengan yang membaca? yang jelas aku tak tahu karena yang membaca tentunya banyak orang dan berbagai latar belakang dan sejarah pribadi yang berbeda. Masing-masing orang punya sejarah hidupnya sendiri.
Lalu, sampai di sini, aku ingin sekedar bercerita bahwa fase perjuangan hidup seseorang, selalu ada tantangan yang dihadapi. Ketika akhir kelas 3 SMA, kupikir setelah masuk UI semuanya telah selesai. Selesai keinginan dan cita-cita. Ternyata sama sekali tidak. Setelah kita masuk ke tahap lain fase hidup kita, selalu saja ada cita-cita baru yang muncul, dan menurutku, semua harus dikejar. Jangan sampai ketika kita sampai di Universitas atau cita-cita apapun yang kita inginkan, kemudian kita kehilangan tujuan berikutnya. Kuharap teman-teman juga berpikir seperti itu.
Setelah euphoria –aku mengartikannya sebagai kegembiraan sesaat- (yaitu diterima di Universitas Indonesia jurusan Akuntansi), sesungguhnya perjuangan yang baru telah dimulai. Harus ada minat dan antusiasme internal atau yang berasal dari kita. Selain minat, antusiasme menurutku sangat penting dalam perjalanan kita ketika kuliah. Antusiasme menentukan harus berapa besar energi yang kita keluarkan untuk mendapatkan sesuatu. Inilah pada akhirnya yang menentukan, dalam setiap langkah hidup kita, kita berhasil melaluinya dengan baik atau tidak.
Pada titik tertentu, aku seringkali miris melihat banyak teman-teman (mungkin salah satunya teman-teman yang ada di Sintesa), yang terlanjur hidup dengan masa lalunya. Mereka selalu memutar kembali kenangan masa lalunya, misalnya ketika masa sekolah menengah atas atau masa-masa sebelumnya atau menceritakannya kembali. Pada satu titik, itu baik. Menemukan kembali siapa diri kita. Tapi, pada banyak titik, itu tidak baik karena melupakan kita dengan masa sekarang, ketika kita harus mengejar mimpi yang harus kita hadapi: sekarang! bukan kemarin.
Kereta kenangan itu, telah selesai mengantar kita sampai hari ini. Entah di titik mana. Dan tugas kita kemudian adalah merancang untuk hari kemudian, apa yang harus kita lakukan. Tidak ada kata lain: kecuali berusaha menjadi yang terbaik di setiap episode kehidupan yang kita lalui dan bertanggungjawab terhadap semua pilihan hidup yang telah kita pilih.
Pada akhir tulisan, aku jadi teringat, berujar: selamat berjuang teman! dan kemudian ingin mengutip kata-kata dalam buku harianku (haha… sejak kapan punya buku harian?)
Hari ini!
Setiap manusia punya mimpi…
dan sekarang, mereka beranjak menjadikan mimpinya menjadi kenyataan…
(Pondok Al Kahfi, Kukusan Teknik, 27 November 2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar