DROP OUT, ANTARA ITB & UNAND |
Sabtu, 03 Maret 2012 |
Salah satu berita hangat yang menghiasi koran di Sumatera Barat akhir-akhir ini adalah masalah DO (drop out) di Universitas Andalas. Ada sejumlah mahasiswa yang akan dikeluarkan karena tidak memenuhi persyaratan akademik setelah menjalani pendidikan selama empat semester. Banyak pro dan kontra terhadap masalah ini. Begitu hebatnya permasalahan ini sampai-sampai ikut menjadi pembicaraan di DPRD Sumatera Barat. Berikut ini penulis mengajak pembaca untuk melihat bagaimana ITB sebagai sebuah perguruan tinggi besar menerapkan aturan DO ini. Kalau tidak salah ITB memulai sistem pengajarannya dengan sistem SKS (Satuan Kredit Semester) pada tahun 1973. Sistem SKS memiliki salah satu instrumen yakni DO bagi yang tidak dapat atau tidak mampu memenuhi target waktu untuk menyelesaikan sebuah jenjang/tahapan. Ketika seorang mahasiswa sudah melewati 5 tahun lalu belum berhasil menyelesaikan seluruh perkuliahan selama enam semester (tingkat sarjana muda), maka mahasiswa tersebut diberikan status sebagai “percobaan” selama dua semester. Atau kalau selama tujuh tahun belum menyelesaikan program sarjananya, maka ia diberikan toleransi perpanjangan waktu selama dua semester dengan status mahasiswa percobaan. Kalau ia dapat menyelesaikan programnya, maka statusnya kembali menjadi mahasiswa reguler. Selama menyandang status mahasiswa percobaan, nomor pokok mahasiswa akan berubah. Nomor pokok mahasiswa pada waktu itu terdiri dari tujuh angka. Dua angka pertama menunjukkan kode jurusan, dua angka berikutnya menunjukkan tahun masuk menjadi mahasiswa, dan tiga angka berikutnya adalah nomor urut mahasiswa di jurusan pada angkatan masuk tersebut. Misalnya 7376021 adalah nomor pokok seorang mahasiswa jurusan Teknik Elektro angkatan tahun 1976 dengan nomor urut 021. Ketika mahasiswa ini tidak dapat meneyelesaikan program sarjana mudanya selama lima tahun, maka ia akan dikenai status percobaan. Kepada ia dan kepada semua mahasiswa lain yang mendapat status percobaan akan diberikan nomor buku pokok yang baru dengan mengganti dua angka kedua menjadi 88. Jadi tahun masuk 76 tadi misalnya, akan diganti menjadi 88. Misalnya nomor BP-nya menjadi 7388135. Artinya 73 tetap menunjukkan kode jurusan, 88 adalah nomor sebagai status mahasiswa percobaan dan tiga angka berikutnya adalah urutan mahasiswa yang mendapat status percobaan pada tahun tersebut. Pertanyaannya, kenapa ITB memakai angka 88 untuk pengganti tahun angkatan masuk perguruan tinggi? Bagaimana kalau mahasiswa angkatan 1983 yang sudah lima tahun kuliah (pada tahun 1988) namun belum menyelesaikan program sarjana mudanya? Tentu tidak mungkin ia akan mendapat kode 88 pengganti kode angkatan tahun masuknya yang 83. Sebab berarti ia akan sama dengan angkatan tahun 1988. Jawabannya adalah: memang tidak mungkin. Karena itulah mulai tahun 1988 itu ITB betul-betul menerapkan aturan DO secara tegas. Pada tahun itu tidak ada lagi istilah mahasiswa percobaan dengan memberikan toleransi selama dua semester untuk menyelesaikan programnya. Mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan kuliahnya sesuai tahapannya langsung saja dikeluarkan. Bahkan tahapan untuk penilaian mahasiswa diubah menjadi empat semester dan delapan semester (jenjang sarjana) seperti sekarang. Artinya, apabila pada akhir semester keempat seorang mahasiswa tidak dapat mencapai target yang sudah ditetapkan, maka ia langsung dikeluarkan tanpa diberikan perpanjang waktu seperti sebelumnya. Jadi, kalau dihitung, ITB memerlukan waktu selama 15 tahun untuk mensosialisasikan aturan DO ini sejak sistem SKS diterapkan, sampai ia benar-benar diterapkan dengan tegas. Sebagai catatan, ada sebagian mahasiswa waktu itu yang bisa memperoleh perpanjangan status percobaan sebanyak dua atau tiga kali. Jadi 15 tahun lamanya ITB memberikan kelonggaran kepada mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan programnya tepat waktu (di bawah target), dengan memberikan perpanjangan waktu studi. Pertanyaannya, kenapa perlu waktu lama untuk benar-benar menerapkan aturan DO ini? Menurut penulis, nampaknya ITB menyadari bahwa pada waktu itu proses belajar-mengajar (PBM) belum terlaksana dengan baik. Misalnya fasilitas penunjang pendidikan masih kurang, seperti alat-alat laboratorium, ruang belajar, termasuk kehadiran dosen di kelas. Perlu diketahui bahwa pada saat itu sejumlah dosen ITB berkiprah di luar. Ada yang menjadi pejabat di pusat seperti menteri, dirjen atau lainnya. Ada pula yang memiliki proyek, tidak saja di sekitar Bandung atau jakarta, bahkan di luar pulau Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi bahkan sampai ke Irian. Dosen-dosen seperti ini sering datang suka-suka. Kadang-kadang datang dua sampai empat dan lima kali saja, misalnya di awal semester, lalu di tengah semester, kemudian akhir semester. Karena rata-rata mahasiswa ITB bisa belajar mandiri, dengan cara “amburadul” seperti ini program perkuliahan dapat juga berjalan. Artinya mahasiswa akhirnya bisa mendapatkan nilai dengan adanya UTS dan UAS. Namun bagaimanapun ini bukan cara yang baik, karena kita tentu tidak berorientasi kepada hasil akhir semata. Proses juga penting. Itulah yang nampaknya disadari oleh ITB untuk tidak langsung menerapkan aturan DO sebelum semuanya berlangsung normal. Selama 15 tahun masa sosialisasi tersebut ITB melakukan pembenahan sehingga pelaksanaan PBM betul-betul berjalan lancar dan normal. Sarana-prasarana pendukung PBM dilengkapi. Dosen-dosen yang kedatangannya suka-suka, dibenahi, sampai semuanya berjalan lancar. Ketika semuanya sudah berjalan lancar barulah aturan bisa ditegakkan dengan baik dan tegas. Bagaimana dengan Unand? Kalau tidak salah Unand memulai sistem SKS setelah 1973. Mungkin 1980 atau sebelumnya. Artinya sudah lebih dari 32 tahun sebetulnya aturan DO ini ada sebagai sebuah perangkat dari sistem SKS. Tapi sampai sekarang belum pernah dilaksanakan. Melihat kepada sudah lamanya aturan ini ada, maka penulis berpendapat bahwa aturan DO ini sudah harus dilaksanakan. Bahkan sudah terlambat sebenarnya. Tapi pertanyaannya, apakah proses PBM di Unand sudah berjalan normal dan lancar? Apakah fasilitas pendukung sudah memadai, sehingga mahasiswa dapat belajar dengan nyaman? Apakah semua perkuliahan sudah berjalan dengan lancar dan normal? Apakah tidak ada dosen yang “ngaco” kehadirannya? Tak Melaksanakan Tugas Penulis sebagai dosen di Fakultas Teknik tahu betul bahwa ada beberapa dosen yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik. Jauh di bawah target. Di antara dosen ini ada yang bekerja dan menetap di luar provinsi, bahkan ada yang di luar negeri. Ada yang dengan keluarganya sekalian tinggal di luar Sumbar. Dari beberapa dosen yang berada di luar provinsi dan luar negeri ini ada yang tetap mengajar, dengan kuliah dipadatkan selama dua, tiga hari atau seminggu full. Ada pula yang tidak mengajar sama sekali. Menyedihkan sekali. Tidak seperti di fakultas lain, seperti yang ditulis oleh Nanda Oetama, setiap mata kuliah dosen yang mengajar lebih dari satu (berupa tim), di FT karena jumlah dosen yang ada (sebagian tugas belajar) kurang, maka beberapa mata kuliah diasuh oleh seorang dosen saja. Terutama mata kuliah tertentu yang pakarnya terbatas. Permasalahan dosen FT yang bekerja di luar ini sebetulnya sudah lama ada. Namun selama itu pula banyak pimpinan yang menutup mata saja terhadap hal ini. Bahkan dulu ada di antaranya yang terpaksa diberikan izin bekerja di luar oleh Ketua Jurusan, karena ketua Jurusannya yunior dari dosen yang ngaco ini. Atau karena faktor pertemanan (nepotisme). Jadi sebagian dosen yang ngaco ini seolah-olah legal karena telah mengantongi izin dari Jurusan. Padahal semua tahu betapa beratnya beban dosen yang tinggal untuk menghandle tugas dosen yang ngaco ini, karena sebagian dosen lain sedang tugas belajar mengambil S2 atau S3. Terakhir, faktor lain yang juga penting adalah masih adanya praktek perpeloncoan, khususnya di Fakultas Teknik. Ini terjadi secara sembunyi-sembunyi (ilegal), yang dilakukan oleh mahasiswa senior. Selama satu semester mahasiswa baru dibebani oleh mahasiswa seniornya dengan bermacam-macam beban sehingga mahasiswa baru kehilangan waktu yang cukup banyak untuk belajar. Padahal mahasiswa baru, terutama yang berasal dari luar daerah, memerlukan masa adaptasi yang berat. Sebagai mahasiswa baru, yang baru mendapatkan sistem PBM yang berbeda dari waktu di SMA, ia memerlukan waktu untuk beradaptasi. Apalagi ditambah dengan kondisi yang baru berpisah dari orangtua, hidup mandiri, mencari tempat kos, dan lain-lain, diperlukan waktu dan pikiran untuk mengatasinya. Akibat perpeloncoan ini, maka banyak mahasiswa yang tidak dapat mengembangkan kemampuan akademiknya pada semester pertama ini. Mereka akhirnya memiliki dampak psikologis yang berat untuk bisa bangkit pada semester berikutnya. Walau akhirnya sebagian yang cerdas dapat bangkit (setelah lepas dari masa perpeloncoan), nilai yang tidak maksimal pada semester pertama ini akan mengurangi capaian totalnya. Karena IPK dihitung sejak semester pertama. Itulah sebabnya IPK rata-rata mahasiswa FT Unand lebih rendah daripada mahasiswa fakultas lain. Dengan kondisi kampus seperti ini, yakni fasilitas pendukung yang belum lengkap dan nyaman, dosen yang tidak memenuhi target perkuliahan, dan lain-lain, maka belum tepat rasanya aturan DO ini diberlakukan sekarang, meskipun aturan ini sudah lebih dari 32 tahun dibuat dan disosialisasikan. Solusinya adalah diundur pemberlakuannya untuk tiga atau lima tahun lagi dengan catatan bahwa selama masa pengunduran itu, mulai dari sekarang, dilakukan pembenahan, terutama kepada dosen-dosen yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik. BADRUL MUSTAFA (Dosen Universitas Andalas) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar