Selasa, 10 Juli 2012

DROP OUT, ANTARA ITB & UNAND

DROP OUT, ANTARA ITB & UNAND        
Sabtu, 03 Maret 2012
Salah satu berita hangat yang menghiasi koran di Sumatera Barat akhir-akhir ini adalah masalah DO (drop out) di Universitas Andalas. Ada sejumlah mahasiswa yang akan dikeluarkan karena tidak memenuhi persyaratan akademik setelah menjalani pendidikan selama empat semester.
Banyak pro dan kontra terhadap masalah ini. Begitu hebatnya permasalahan ini sampai-sampai ikut menjadi pembicaraan di DPRD Suma­tera Barat. Berikut ini penulis mengajak pembaca untuk melihat bagaimana ITB seba­gai sebuah perguruan tinggi besar menerapkan aturan DO ini.
Kalau tidak salah ITB memulai sistem penga­jaran­nya dengan sistem SKS (Sa­tuan Kredit Semester) pada tahun 1973. Sistem SKS memiliki salah satu instru­men yakni DO bagi yang tidak dapat atau tidak mampu memenuhi target waktu untuk menye­lesaikan sebuah jenjang/taha­pan. Ketika seorang mahasiswa sudah melewati 5 tahun lalu belum berhasil menyelesaikan seluruh perku­liahan selama enam semester (tingkat sarjana muda), maka mahasiswa terse­but diberikan status sebagai “percobaan” selama dua semes­ter. Atau kalau selama tujuh tahun belum menyelesaikan program sarjananya, maka ia diberikan toleransi perpan­jangan waktu selama dua semester dengan status maha­siswa percobaan. Kalau ia dapat menyelesaikan pro­gram­nya, maka statusnya kembali menjadi mahasiswa reguler.
Se­lama menyandang sta­tus mahasiswa percobaan, nomor pokok mahasiswa akan berubah. Nomor pokok maha­siswa pada waktu itu terdiri dari tujuh angka. Dua angka pertama menunjukkan kode jurusan, dua angka berikutnya menunjukkan tahun masuk menjadi mahasiswa, dan tiga angka berikutnya adalah nomor urut mahasiswa di jurusan pada angkatan masuk tersebut. Misalnya 7376021 adalah nomor pokok seorang mahasiswa jurusan Teknik Elektro angkatan tahun 1976 dengan nomor urut 021. Ke­tika mahasiswa ini tidak dapat meneyelesaikan pro­gram sarjana mudanya sela­ma lima tahun, maka ia akan dikenai status percobaan. Kepada ia dan kepada semua mahasiswa lain yang men­dapat status percobaan akan diberikan nomor buku pokok yang baru dengan mengganti dua angka kedua menjadi 88. Jadi tahun masuk 76 tadi misalnya, akan diganti men­jadi 88. Misalnya nomor BP-nya menjadi 7388135. Artinya 73 tetap menunjukkan kode jurusan, 88 adalah nomor sebagai status mahasiswa percobaan dan tiga angka berikutnya adalah urutan mahasiswa yang mendapat status percobaan pada tahun tersebut.
Pertanyaannya, kenapa ITB memakai angka 88 untuk pengganti tahun angkatan masuk perguruan tinggi? Ba­gai­mana kalau mahasiswa angkatan 1983 yang sudah lima tahun kuliah (pada tahun 1988) namun belum menyelesaikan program sar­jana mudanya? Tentu tidak mungkin ia akan mendapat kode 88 pengganti kode ang­ka­tan tahun masuknya yang 83. Sebab berarti ia akan sama dengan angkatan tahun 1988. Jawabannya adalah: memang tidak mungkin. Ka­re­na itulah mulai tahun 1988 itu ITB betul-betul mene­rapkan aturan DO secara tegas. Pada tahun itu tidak ada lagi istilah mahasiswa percobaan dengan memberikan toleransi selama dua semester untuk menyelesaikan programnya.
Mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan kuliah­nya sesuai tahapannya lang­sung saja dikeluarkan. Bah­kan tahapan untuk penilaian mahasiswa diubah menjadi empat semester dan delapan semester (jenjang sarjana) seperti sekarang. Artinya, apabila pada akhir semester keempat seorang mahasiswa tidak dapat mencapai target yang sudah ditetapkan, maka ia langsung dikeluarkan tanpa diberikan perpanjang waktu seperti sebelumnya. Jadi, kalau dihitung, ITB memer­lukan waktu selama 15 tahun untuk mensosialisasikan atu­ran DO ini sejak sistem SKS diterapkan, sampai ia benar-benar diterapkan dengan tegas. Sebagai catatan, ada sebagian mahasiswa waktu itu yang bisa memperoleh perpan­jangan status percobaan seba­nyak dua atau tiga kali. Jadi 15 tahun lamanya ITB mem­berikan kelonggaran kepada mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan programnya tepat waktu (di bawah target), dengan memberikan perpan­jangan waktu studi.
Pertanyaannya, kenapa perlu waktu lama untuk benar-benar menerapkan aturan DO ini? Menurut penulis, nam­paknya ITB menyadari bahwa pada waktu itu proses belajar-mengajar (PBM) belum terlak­sana dengan baik. Misalnya fasilitas penunjang pendidikan masih kurang, seperti alat-alat laboratorium, ruang belajar, termasuk kehadiran dosen di kelas. Perlu diketahui bahwa pada saat itu sejumlah dosen ITB berkiprah di luar.
Ada yang menjadi pejabat di pusat seperti menteri, dirjen atau lainnya. Ada pula yang memiliki proyek, tidak saja di sekitar Bandung atau jakarta, bahkan di luar pulau Jawa seperti Sumatera, Kali­mantan, Sulawesi bahkan sampai ke Irian. Dosen-dosen seperti ini sering datang suka-suka. Kadang-kadang datang dua sampai empat dan lima kali saja, misalnya di awal semester, lalu di tengah semester, kemudian akhir semester. Karena rata-rata mahasiswa ITB bisa belajar mandiri, dengan cara “ambu­radul” seperti ini program perkuliahan dapat juga ber­jalan.
Artinya mahasiswa akhir­nya bisa mendapatkan nilai dengan adanya UTS dan UAS. Namun bagaimanapun ini bukan cara yang baik, karena kita tentu tidak berorientasi kepada hasil akhir semata. Proses juga penting. Itulah yang nampaknya disadari oleh ITB untuk tidak langsung menerapkan aturan DO sebe­lum semuanya berlangsung normal.
Selama 15 tahun masa sosia­lisasi tersebut ITB mela­kukan pembenahan sehingga pelaksanaan PBM betul-betul berjalan lancar dan normal. Sarana-prasarana pendukung PBM dilengkapi. Dosen-dosen yang kedatangannya suka-suka, dibenahi, sampai se­mua­nya berjalan lancar. Ke­tika semuanya sudah berjalan lancar barulah aturan bisa ditegakkan dengan baik dan tegas.
Bagaimana dengan Unand? Kalau tidak salah Unand memulai sistem SKS setelah 1973. Mungkin 1980 atau sebelumnya. Artinya sudah lebih dari 32 tahun sebetulnya aturan DO ini ada sebagai sebuah perangkat dari sistem SKS. Tapi sam­pai sekarang belum pernah dilaksanakan. Melihat kepa­da sudah lamanya aturan ini ada, maka penulis berpen­dapat bahwa aturan DO ini sudah harus dilaksanakan. Bahkan sudah terlambat sebenarnya. Tapi perta­nyaannya, apakah proses PBM di Unand sudah berjalan normal dan lancar? Apakah fasilitas pendukung sudah memadai, sehingga maha­siswa dapat belajar dengan nyaman? Apakah semua per­ku­liahan sudah berjalan dengan lancar dan normal? Apakah tidak ada dosen yang “ngaco” kehadirannya?
Tak Melaksanakan Tugas
Penulis sebagai dosen di Fakultas Teknik tahu betul bahwa ada beberapa dosen yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik. Jauh di bawah target. Di antara dosen ini ada yang bekerja dan menetap di luar provinsi, bahkan ada yang di luar negeri. Ada yang dengan keluarganya sekalian tinggal di luar Sumbar. Dari bebe­rapa dosen yang berada di luar provinsi dan luar negeri ini ada yang tetap mengajar, dengan kuliah dipadatkan selama dua, tiga hari atau seminggu full. Ada pula yang tidak mengajar sama sekali.
Menyedihkan sekali. Tidak seperti di fakultas lain, se­perti yang ditulis oleh Nanda Oetama, setiap mata kuliah dosen yang mengajar lebih dari satu (berupa tim), di FT karena jumlah dosen yang ada (sebagian tugas belajar) ku­rang, maka beberapa mata kuliah diasuh oleh seorang dosen saja. Terutama mata kuliah tertentu yang pakarnya terbatas.
Permasalahan dosen FT yang bekerja di luar ini sebetulnya sudah lama ada. Namun selama itu pula ba­nyak pimpinan yang menutup mata saja terhadap hal ini. Bahkan dulu ada di antaranya yang terpaksa diberikan izin bekerja di luar oleh Ketua Jurusan, karena ketua Juru­sannya yunior dari dosen yang ngaco ini. Atau karena faktor pertemanan (nepotisme). Jadi sebagian dosen yang ngaco ini seolah-olah legal karena telah mengantongi izin dari Jurusan. Padahal semua tahu betapa beratnya beban dosen yang tinggal untuk menghandle tugas dosen yang ngaco ini, karena sebagian dosen lain sedang tugas belajar mengam­bil S2 atau S3.
Terakhir, faktor lain yang juga penting adalah masih adanya praktek perpeloncoan, khususnya di Fakultas Tek­nik. Ini terjadi secara sem­bunyi-sembunyi (ilegal), yang dilakukan oleh mahasiswa senior. Selama satu semester mahasiswa baru dibebani oleh mahasiswa seniornya dengan bermacam-macam beban se­hing­ga mahasiswa baru ke­hilangan waktu yang cukup banyak untuk belajar. Pa­dahal mahasiswa baru, teru­tama yang berasal dari luar daerah, memerlukan masa adaptasi yang berat. Sebagai mahasiswa baru, yang baru mendapatkan sistem PBM yang berbeda dari waktu di SMA, ia memerlukan waktu untuk beradaptasi. Apalagi ditambah dengan kondisi yang baru berpisah dari orangtua, hidup mandiri, mencari tem­pat kos, dan lain-lain, diper­lukan waktu dan pikiran untuk mengatasinya.
Akibat perpeloncoan ini, maka banyak mahasiswa yang tidak dapat mengem­bangkan kemampuan akade­miknya pada semester per­tama ini. Mereka akhirnya memiliki dampak psikologis yang berat untuk bisa bangkit pada semester berikutnya. Walau akhirnya sebagian yang cerdas dapat bangkit (setelah lepas dari masa perpeloncoan), nilai yang tidak maksimal pada semester pertama ini akan mengurangi capaian totalnya. Karena IPK dihitung sejak semester pertama. Itulah sebabnya IPK rata-rata maha­siswa FT Unand lebih rendah daripada mahasiswa fakultas lain.
Dengan kondisi kampus seperti ini, yakni fasilitas pendukung yang belum leng­kap dan nyaman, dosen yang tidak memenuhi target per­kuliahan, dan lain-lain, maka belum tepat rasanya aturan DO ini diberlakukan sekarang, meskipun aturan ini sudah lebih dari 32 tahun dibuat dan disosialisasikan. Solusinya adalah diundur pemberla­kuannya untuk tiga atau lima tahun lagi dengan catatan bahwa selama masa pengun­duran itu, mulai dari sekarang, dilakukan pembenahan, teru­tama kepada dosen-dosen yang tidak melaksanakan kewaji­bannya dengan baik.

BADRUL MUSTAFA
(Dosen Universitas Andalas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar